Maaf, kami tidak sekedar membantu,..

Oleh: Iman D. Nugroho

Sebagai non goverment organisation (NGO), Plan International Aceh memilih untuk tidak sekedar membantu korban tsunami. Berbagai program yang dilakukan berupaya menolong korban yang terpuruk untuk benar-benar bangkit kembali.

Kedatangan Plan Indonesia Aceh ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memang bukan tanpa alasan. “Semua karena respons emergency yang terjadi di Aceh karena tsunami,” kata Djuneidi Saripurnawan Research and Development Coordinator Plan International Aceh. Emergency respons diterjemahkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar atau basic needs masyarakat yang tiba-tiba hilang terimbas gelombang besar itu.

Karena emergency itulah, pada awal-awalnya, Plan Aceh merasa tidak perlu ada ukuran-ukuran tertentu. Termasuk “target” yang akan diraih dalam kondisi normal. Dengan alasan itu pula, Plan tidak melakukan mekanisme normal semacam survey, diskusi atau apapun untuk mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat. Data didapatkan dari berbagai sumber yang sebelumnya sudah berada di Aceh. Mulai dari tim United Nation (UN) yang berkolaborasi dengan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitas (BRR) Aceh-Nias, juga yang dari berbagai NGO yang mempublikasikan temuannya.

“Datanya banyak sekali. Plan tidak perlu melakukan survey lagi. Bahkan, kita mengetahui, masyarakat sudah jenuh dengan survey semacam itu,” kata laki-laki yang akrab dipanggil Djuneidi ini. Untuk menentukan kebutuhan lain yang lebih spesifik, Plan Aceh memilih untuk “menanam” orang sukarelawan di setiap wilayah yang dianggap memerlukan penanganan lebih. Sukarelawan yang dipilih adalah orang lokal Aceh, yang bisa bahasa lokal Aceh namun bukan merupakan korban langsung tsunami. Mereka disebut CTA (Comition of Tranformation Agent).

Para sukarelawan ini tinggal dan hidup bersama korban tsunami selama kurang lebih delapan bulan lamanya. Selama itu pula, sukarelawan akan menyerap informasi menyangkut kebutuhan riil korban tsunami. Data dan masukan langsung dari korban itu yang coba direalisasikan dalam bentuk distribusi barang secara langsung ke lokasi-lokasi yang membutuhkan. Mulai kebutuhan barang-barang steril, makanan untuk anak-anak hingga micro nutrient. Melalui cara yang sama, Plan Aceh mengetahui bantuan-bantuan yang sebelumnya sudah diberikan NGO lain, namun sudah dihentikan. Plan Aceh sengaja mengambil alih peran NGO itu, selama korban dinilai masih membutuhkan.

Setiap tiga bulan, Plan Aceh melakukan evaluasi program. Saat itulah diketahui kondisi terbaru di masyakat korban tsunami. “Untuk menentukan efektifitas strategi yang sudah dilakukan serta untuk menjawab pertanyaan: Apakah sudah saatnya berubah? Apa yang perlu diteruskan dan dihentikan?,” kata Djuneidi. Evaluasi itu untuk menghindari munculnya ketergantungan korban pada lembaga. Evaluasi itu penting. Dalam beberapa kasus, Plan Aceh menemukan fenomena respon negatif mengungsi justru karena bantuan yang melimpah dan terus menerus. Misalnya, pengungsi yang enggan pindah ke tempat baru (shelter), karena semua kebutuhan pengungsi sudah dipenuhi saat mereka tinggal di barak-barak pengungsian. Mulai air bersih, pakaian hingga makanan. “Kalau sudah seperti itu, bantuan yang diberikan akan merusak mental mereka,” kata Djuneidi.

Tahun kedua menjelang. Strategi Plan Aceh mulai berubah. Semakin banyaknya bantuan yang diberikan NGO, terutama yang concern di bidangnya, menjadi pertimbangan pertama. Sebut saja bantuan makanan yang diberikan oleh World Food Program. Begitu juga dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti kompor, rak piring plus barang sekunder berupa pakaian anak-anak dan kebutuhan keluarga lain pun berlimpah. Plan Aceh pun menghentikan bantuan jenis itu.

Pertimbangan kedua adalah kondisi pengungsi tsunami yang sudah tidak “tidak bisa berbuat apa-apa”. Hampir semua pengungsi mulai beranjak dari tenda pengungsi, pindah ke shelter (rumah sementara). Muncul pemikiran untuk mengubah bentuk bantuan dari bantuan barang, menjadi bantuan dalam bentuk lain yang mampu membuat pengungsi lebih sustanable.

Pengamatan Plan Aceh pada kondisi itu menyimpulkan, pemenuhan kebutuhan pokok harus bergeser kepada pemenuhan kebutuhan yang bersifat tidak langsung. Sekaligus membantu korban tsunami untuk survive di kemudian hari. Pemikiran itu diperkuat dengan “gejala” yang terlihat. Beberapa pengungsi korban tsunami yang dahulu petani, sudah bisa mengolah tanah. Yang awalnya nelayan, mulai mempersiapkan diri kembali ke laut. “Apalagi di kantong-kantong Plan, belum ada NGO yang bisa mengkreasikan usaha livelihood (Domain Livelihood),” kata Djuneidi. Secara sederhana, program livelihood akan mendorong pengungsi untuk mendapatkan cash money.

Pemilihan calon kader dari kelompok korban tsunami pun coba dilakukan. CTA menilai dan memilih calon kader dari orang-orang yang dianggap cocok sebagai “jangkar” program. Minimal, calon kader terpilih harus mempunyai sejarah melakukan hal yang akan dibantu oleh Plan Aceh. Misalnya dalam program training menjahit. Dipilih calon kader yang punya sejarah menjadi penjahit. Bila ada pengungsi diluar calon kader terpilih tertarik akan itu, tetap diperbolehkan. Namun calon kader yang direkomendasikan oleh CTA menjadi prioritas.

Calon kader ini dimobilisasi di sebuah tempat untuk ditraining. “Tempat di camp tidak memungkinkan untuk pelatihan, apalagi melibatkan banyak kader yang akan menjadi agent of knowledge transfer,” ungkap Djunaedi. Agar tidak memunculkan ketergantungan, dalam training itu Plan Aceh tidak memberikan honor atau uang saku. Hanya ongkos transportasi sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Meski dengan cara yang ketat dan terseleksi, Plan Aceh mengaku masih melakukan kesalahan. Sekitar 30 persen calon kader yang dipilih, adalah calon kader yang salah. Kader yang sudah terpilih itu diberi “tugas” untuk mengumpulkan benefisiaris, berupa kader-kader selanjutnya. Atau sebutan untuk kader lain yang bisa mengambil keuntungan dari pelatihan. Kader lanjutan ini pun diberikan training serupa atau yang lebih advance.

Hasilnya tidak mengecewakan. Saat masuk tahun ketiga, ketika kader dan benefesiaris mulai terbentuk, Plan Aceh menawarkan bantuan modal kerja berbentuk peralatan. Yang memutuskan menjadi penjahit dibelikan mesin jahit. Yang memutuskan membuka usaha bengkel pun difasilitasi dengan peralatan perbengkelan. “Ada juga ibu-ibu yang memutuskan untuk membuat batu bata, ketika itu ada order yang jelas kebutuhan batu bata dari Mercy Corp yang akan akan membuat rumah. Mulai batako, dan coneblock, dll, itu yang kita fasilitasi,” kata Djuneidi.

Menata di Tahun Kedua

Tahun kedua Plan Aceh pun “dipaksa” mengubah strategi pada bidang kesehatan (Domain Health). Banyak NGO yang turun dalam program ini, membuat sesak aktivitas di lokasi korban tsunami. Dalam kasus program makanan tambahan (PMT) misalnya. Sampai ada 11 organisasi yang turun tangan. Bahkan, seorang anak pengungsi tsunami bisa ditimbang sampai 11 kali. Padahal, untuk kebutuhan data anak sudah tercatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yang dimiliki tiap-tiap anak. Plan Aceh bergeser dengan mempersiapkan kader Posyandu. Kader-kader inilah yang nantinya bisa membagi pengetahuan mereka pada ibu-ibu lain.

“Mulai muncul pola training, transfer pengetahuan tentang anak sehat, ASI dll. Kita memilih pengungsi tsunami untuk ditraining,” kata Djunedi. Buah pun dipetik saat tahun ketiga tiba. PMT (progam makanan tambahan) yang awalnya bersandar pada NGO, tidak terlihat lagi. Kader sudah memanage sendiri kebuhannya. Mulai memasak makanan sendiri dengan menggunakan menu sehat yang didapatkan dari hasil home gardening.

Bidang pengajaran (Domain Learn) memiliki strategi serupa. Titik pijaknya adalah memilik kader yang paham konsep Asuhan Dini Tumbuh Kembang Anak (Adituka) pada tingkatan pre school. Kader ini yang akan memberikan pengetahun informal kepada ibu-ibu tentang bagaimana menstimulasi anak-anak melalui Adituka.

Ternyata, daya tahan kader dalam domain ini pun keras teruji. Terjadi seleksi alam, antara kader yang benar-benar ingin menjadi guru, dan kader yang hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Kader yang ingin tetap melanjutkan aktivitas sebagai pengajar, difasilitasi dengan pengembangan SDM sebagai Community Base Organsation (CBO). CBO adalah cikap bakal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan isu lokal plus membuka jaringan international.

Tahun ketiga ini, Plan Aceh mulai mengintervensi “cara” mendidik anak sekolah. Kerja bareng Plan Aceh dan Unicef, guru-guru diperkenalkan cara mendidik yang child friendly melalui training. Termasuk mengubah bentuk gedung sekolah yang dibuat seramah mungkin dengan anak. “Dari lantai yang tidak boleh licin, tangga yang sesuai ukuran anak-anak, sampai kursi dan mabel harus argonomis,” kaya Djuneidi. Pelaksanaan kurikulum versi pemerintah pun didorong untuk lebih membuka ruang pada kebebasan anak untuk berekspresi. Hubungan familier, antara anak dan guru pun coba dibangun melalui PAKEM (Pembelajaran Aktif Efektif, Kreatif dan menyenangkan).

Strategi yang sedikit berbeda dilakukan dalam Domain Habibat. Tahun kedua adalah tahun dimana Plan Aceh memulai study kelayakan pada sumber air bersih setempat. Di daerah pengungsian Desa Lamreh, Aceh Besar misalnya. Untuk mengatasi kebutuhan air bersih di sana, Plan Aceh menggali informasi yang didapatkan CTA tentang adanya sumber air bersih di bukit Desa Ladong, sekitar 8 Km dari Desa Lamreh. Ketika mendalami informasi itu, Plan menemukan fakta sanya saluran pipa milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Aceh Besar yang dulu menghubungkan sumber air Desa Ladong menuju ke Desa Lamreh.

Di tahun kedua itu, Plan Aceh menurunkan tenaga profesional untuk mengecek segala kebutuhan realisasi program. Mulai meneliti kualitas air, mengukur debit dan kondisi tanah. “Setelah diteliti, secara teknis profesional, air yang keluar dari bukit Ladong memenuhi kelayakan, maka Plan Aceh memropose proyek air Ladong-Lamreh (Domain Habitat),” kata Djuneidi. Dalam program ini dipikirkan bagaimana suply air sustainable. Sayang, dalam perkembangannya, program Ladong-Lamreh terbentur berbagai kendala horisontal yang membuat air tidak lagi mengalir ke Lamreh.

Untuk daerah di Leupeung, Peukan Bada dan Lhok Nga, Plan Aceh coba merealisasikan sumur gali dan sumur bor. Beberapa sumber yang terdeteksi, langsung dieksekusi (dibor). Saat itu diketahui, tidak semua sumber air yang dibor memiliki kualitas baik. Ada juga yang berair payau.

Menuai di Tahun Ketiga

Tahun ketiga, menjadi tahun pertaruhan baru bagi Plan Aceh. Apakah di tahun ini, seluruh program yang sudah diinventarisir di tahun pertama dan dilaksanakan di tahun kedua, bisa berhasil baik di tahun ke tiga. Domain Habibat, bisa disebut menjadi ujung dari pertaruhan itu. Bila domain habitan gagal, maka semua domain yang lain pun dipastikan akan terpengaruhi.

Hal pertama yang dievaluasi Plan Aceh dalam domain habitat adalah layak tidaknya air dari beberapa sumur yang sudah dibuat. Cek laboratorium pun dilakukan. Di Aceh, Plan Aceh berkerjasama dengan Universitas Syiah Kuala. Hasil dari seluruh evaluasi sumur itu sekaligus mengelompokkan sumur dengan kualitas air yang dihasilkan. “Dari penelitian itu, tidak ada sumur yang ditutup karena berbahaya,” kata Junedi

Plan Aceh mengharapkan, tahun ini bisa diketahui masyarakat bisa memanajemen maintenance secara swadaya. Untuk mendorong hal itu, Plan Aceh secara formal melakukan serah terima kepada kelompok yang dibentuk.. Diharakan mereka punya tim yang bertanggungjawab. Minimal pemerintahan lokal. Entah itu RW, Pemimpin Mukim atau Pak Mukim atau orang yang mengatur air atau Tuhapet, sudah harus memanage sendiri. Makanya tahun ke tiga ini Plan Aceh mengupayakan pembentukan kelompok.

Sumur bor sedikit menguras energi. Berbagai elemen yang mendukung sumur bor, pompa air, listrik bahkan genset harus disiapkan terlebih dahulu. Persiapan yang paling utama adalah penentuan lokasi strategis sumur bor. Agar tidak ada monopoli, air yang ditarik dari sumur bos itu, ditampung di tandon, baru kemudian diaalurkan ke rumah-rumah. Orang yang menjadi operator sumur bos, ditraining terlebih dahulu.
Hebatnya, melalui survey yang dibuat Plan Aceh, di tahun ketiga itu diketahui ada poin kualitas bangunan yang buruk. Setelah dirinci main problemnya terletak pada proses pengerjaan oleh kontraktor. Kontraktor yang kebanyakan dari luar Aceh itu mendapat penolakan dari orang lokal. Penduduk lokal Aceh meminta dipekerjakan. Sayangnya, SDM lokal yang dipakai tidak mampu membuat target terpenuhi.

Selain itu, ada sikap dari masyarakat yang tidak memiliki sense of belonging. Misalnya saja, tidak ada keinginan untuk memaintenance sendiri fasilitasnya. Pemakaian fasilitas bersama itu pun dilakua semaunya. Tidak disiram, air dibiarkan mengalir terus tanpa menutup kran, dll. Namun perlu diingat, tidak semua daerah memiliki problem yang disebutkan. Ada daerah yang malah mendukung dan membantu menjaga semua bantuan yang diberikan di wilayah itu. “Tapi yang pasti, Plan Aceh tidak sekedar membantu,” kata Juneidi.*

Tidak ada komentar: