Persoalan terpercik ke wajah bocah

oleh: Iman D. Nugroho

Biarpun senyum selalu bersarang di wajah anak-anak Desa Ladong dan Desa Lamreh, namun mereka tetap mengetahui, ada persoalan air di dua desa itu. Persoalan yang justru dibuat oleh orang dewasa.


Air di dalam kaleng bekas cat tembok tembok itu langsung beriak, saat Muhammad Rizal memasukkan tangannya. Air kecoklatan itu pun tumpah sebagian ketika siswa kelas enam Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar ini mencoba menangkap ikan Sepat yang baru dipancingnya. “Ini dia ikannya, aku tangkap dari sungai itu,” kata Rizal sambil menunjuk ke sungai yang melintas di samping sekolahnya.

Kehidupan Rizal dan teman-temannya di Desa Ladong, tidak bisa dilepaskan dari air. Hampir setiap hari, bocah berusia 12 tahun ini selalu menjadikan air sebagai lokasi permainannya. Bila waktu pulang sekolah tiba, Rizal dan Sa’ban adiknya hampir pasti mampir ke sungai kecil yang banyak tersebar di bukit-bukit ladong. Mengalir langsung ke laut. Khususnya berada di dekat SDN Ladong. Kadang, mereka juga ke pantai Ladong yang terletak di bagian selatan desa.

Seperti anak Desa Ladong kebanyakan, Rizal memahami bahwa desa tempatnya tinggal dikenal sebagai desa tempat sumber air berada. “Ada sumber air di bukit sana,” kata Rizal sambil menujuk ke arah bukit di belakang sekolahnya. Di bukit itulah, sumber air bukit Ladong atau Mata Ie Alue Pochik berada. Rizal menceritakan, dirinya dan teman-teman sebayanya pernah mengunjungi tempat itu. “Ada kotak besar warnanya biru,” katanya menceritakan bangunan intake dan reservoir yang ada di bukit itu.

Rizal pun memahami, sebagian dari air yang keluar dari mata air bukit Ladong itu juga yang mengalir ke sungai-sungi kecil, termasuk sungai kecil tempat ia biasa bermain. Karena itulah, hampir semua sungai yang mengalir di Desa Ladong tergolong dangkal. Paling dalam hanya 30 Cm. Karena itu jugalah, anak-anak Desa Ladong senang menjadikan sungai sebagai arena bermain mereka.

Meski paham bahwa sungai kecil itu tidak dalam, namun Rizal dan teman-temannya jarang sekali mandi di sungai. Paling hanya memancing menggunakan gagang kayu yang banyak berserakan di sekitar sungai. Umpannya, cacing tanah yang sebelumnya dicari di tanah liat yang juga tidak jauh dari sungai. “Ikan-ikan ini tidak untuk di makan, tapi untuk dipelihara di rumah,” katanya.

Bocah yang tinggal bersama keluarganya di belakang Masjid Desa Ladong ini mengatakan, dirinya ikut menikmati adanya proyek air bersih yang dibangun oleh Plan Aceh. Sejak air mengalir ke hidran umum, dirinya tidak perlu susah-susah lagi mengambil air bila ingin mandi, wudhu atau mencuci sandal yang kotor oleh lumpur usai bermain. “Nggak perlu susah-susah lagi,” kata Rizal berseri.

Penggemar sepakbola ini mengaku, kenikmatan air yang mengalir di HU yang sempat mereka nikmati setahun lalu, beberapa bulan belakangan ini mulai menghilang. Kalau toh ada air di bak besar berwarna biru yang berjajar di sepanjang jalan raya Ladong-Lamreh itu pun jumlahnya sangat sedikit.

“Kata orang-orang, sedikitnya air karena di banyak orang yang melobangi pipa yang dibangun oleh Plan,” kata Rizal hampir tidak terdengar. Rizal memperkirakan, gara-gara sedikitnya jumlah air itulah yang membuat anak-anak di kawasan sulit air seperti kawasan Krueng Raya (Desa Meunasah Mon, Meunasah Kulam, Meunasah Guede dan Desa Lamreh), tidak bisa menikmati air bersih.

Perkiraan Rizal tidak meleset. Abdullah, anak Desa Maunasah Mon merasakan betapa sulitnya tidak punya air. Remaja yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Krueng Raya ini mengatakan, HU di desanya baru terisi air pada tiga hari terakhir. Selama berbulan-bulan, sama sekali tidak ada air yang bisa dinikmati dari tandon HU itu. “Berbulan-bulan mati, baru tiga hari lalu ada airnya, itupun tak banyak,” kata Abdullah dalam bahasa daerah Aceh.

Sebagai solusi atas hal itu, Abdullah dan keluarganya, termasuk dua adiknya yang masih berusia balita selalu memisahkan kebutuhan air minum dan kebutuhan air untuk mandi dan mencuci peralatan rumah tangga. Bila waktu mandi tiba, Abdullah dan keluarganya bergantian menuju ke kali 500 meter dari rumahnya. “Kalau untuk air minum, kita membeli dari abang becak, Rp.2000/jirigen kalau mandi bisa di sungai,” katanya.

Lain lagi dengan anak dan cucu ibu Nurwani, warga Desa Lamreh yang lain. Menurut pengakuan wanita yang berjualan gorengan di sekitar HU desa Lamreh ini, anak dan cucu acapkali menolak saat dirinya menyuguhkan air minum dari air yang berasa asin. “Mereka tidak mau kalau saya menyuguhkan air yang berasa asin, karena itu saya merasa perlu memberi air bersih di jirigen,” katanya.

Agar biaya yang dikeluarkan tidak terlalu banyak, Nurwani memilih untuk mengkombinasi air bersih dan air asin. Khusus air minum, agar tidak banyak protes ia menggunakan air bersih. Untuk masak sayur, ia menggunakan air asin. “Kalau sudah ada bumbu-bumbunya, rasanya sudah berbeda, hehe,..” katanya.

Banyaknya persoalan menyangkut saluran air Ladong-Lamreh pun disadari oleh para guru di Ladong-Lamreh. Namun tidak banyak hal yang bisa dilakukan para guru untuk mengatasi hal itu. “Karena semua itu urusan orang-orang tua, yang bisa kita lakukan adalah membangun kesadaran kepada generasi muda, seperti siswa-siswa yang ada di SDN Ladong ini,” kata Muhammad Yunus, Guru Agama di SDN Ladong.

Meskipun tidak menjadikan upaya penyadaran tentang air sebagai mata pelajaran utama, namun Yunus menceritakan, hampir setiap hari, pangajar yang kebetulan mengajarkan tentang agama, science dan Pendidikan Pancasila dan Keluarganegaraan (PPKN) akan mengaitkan dengan persoalan air. “Misalnya, kita sedang mengajar agama, maka akan kita sentil perihal air yang merupakan ciptaan Tuhan yang harus dijaga,” kata pengajar agama di sekolah yang dulu pindahan dari kawasan Ujong Kareung, sekitar 1 Km sebelah barat Desa Ladong itu.

Jelas, bentuk pengajaran semacam itu belum cukup. Apalagi, pengajar di SDN Ladong pun tampak tidak memberi contoh yang baik tentang penghematan air. Sebuah kran air yang ada di samping kelas SDN Ladong, rusak dan selalu airnya mengalir terus. Menggenangi lapangan rumput dan sebagian lantai teras di depan kelas.

Tapi, hal itu bukan berarti pengajaran tentang air tidak dilanjutkan. Guru-guru di SDN Ladong memastikan, 133 murid dari kelas 1 hingga kelas 6 yang sekolah di sekolah ini sudah memahami betul apa yang menjadi karakteristik desanya. “Desa yang merupakan pintu air,” kata Nurlia, Wali Kelas II SDN Ladong.

Nurlia cenderung memaklumi bila ditemukan prilaku bocah Ladong yang tidak care dengan air. Lantasan, sejak kecil, anak-anak Ladong hidup di daerah yang memiliki air berlimpah. Bahkan, tidak jarang anak-anak di daerah ini masih sering minum air mentah yang mengalir langsung dari sumbernya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan. Terutama kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun di lingkungan desa.

“Makanya, perlu ada bantuan dari pihak-pihak seperti NGO yang khusus menangani masalah air untuk terus menerus memberikan pelatihan. Apalagi, anak-anak Ladong sudah memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan air dan minum air mentah,” katanya.*

Tidak ada komentar: