Maaf, kami tidak sekedar membantu,..

Oleh: Iman D. Nugroho

Sebagai non goverment organisation (NGO), Plan International Aceh memilih untuk tidak sekedar membantu korban tsunami. Berbagai program yang dilakukan berupaya menolong korban yang terpuruk untuk benar-benar bangkit kembali.

Air bercerita, anak-anak yang terluka

oleh: Iman D. Nugroho dan Maimun Saleh
 

Air dari sumber air Bukit Ladong menjadi sandaran hidup ribuan orang di delapan desa Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Sayang, berbagai persoalan membuat air jernih itu menjadi “keruh”. Di akhir cerita, anak-anak juga yang “terluka”.

Tidak semua hidran “berbuah” senyum

Oleh: Iman D. Nugroho dan Maimun Saleh

Adzan Sholat Ashar telah usai beberapa saat lalu. Inilah waktu bagi Sri Wahyuna dan kawan-kawannya untuk mengaji di meunasah yang terletak di samping HU 2 di Desa Ladong, Masjid Raya, Aceh Besar. “Sebelum mengaji kita selalu wudhu dulu di HU itu,” kata muris SDN Ruyung itu.

Bersandar pada Alue Pochik

oleh: Iman D. Nugroho dan Maimun Saleh

Lembaga ini dikenal dengan sebutan Alue Pochik. Dia lahir dari semangat untuk mencari solusi problem pengelolaan saluran air Ladong-Lamreh. Bertumpuk harapan bersandar di pundaknya. Meski berusaha keras, masih saja pekerjaan rumah tersisa.

Persoalan terpercik ke wajah bocah

oleh: Iman D. Nugroho

Biarpun senyum selalu bersarang di wajah anak-anak Desa Ladong dan Desa Lamreh, namun mereka tetap mengetahui, ada persoalan air di dua desa itu. Persoalan yang justru dibuat oleh orang dewasa.

Sang penjaga dan penjaja air

oleh: Maimun Saleh dan Iman D. Nugroho

Penjaga dan penjual air menjadi pihak yang sering dituding sebagai hulu dan hilir persoalan air di Ladong-Lamreh. Padahal, keduanya mengaku hanya menjalankan peran masing-masing. Berikut kisah keduanya.

WC biru, jarang digunakan, dibuang sayang

oleh: Maimun Saleh

Walau usianya sudah dua tahun lebih, sebatas penglihatan, kamar mandi yang ditutup seng dan bercat biru di Lambaro Neujid, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar itu sangat nyaman untuk digunakan. Sengnya terpasang rapi. Tanpa lubang, tanpa karat. Masih ada tempat shampo kosong, sisa sabun dan botol scrup pembersih wajah dalam kamar mandi menjadi bukti, warga sekitar kamar mandi umum itu masih menggunakannya.

Sebagian mimpi Lam Tutui berganti Mon Ie

oleh: Maimun Saleh

Berulang kali, Syahbudin menunjuk ke arah bukit karang Gle Lam Tutui, beberapa kilometer dari tempatnya berdiri. Ia tidak sedang mengkhawatirkan kondisi rimba. Malainkan gemas pada watertank yang tegak di kaki bukit.

Mimpi sumir punya pompa air

oleh: Maimun Saleh

Sumur menjadi andalan bagi warga di Peukan Bada. Tanpa sumur, warga kesulitan mendapatkan air. Sayangnya, kebanyakan sumur-sumur itu berada di luar rumah, dan dibiarkan menganga tanpa tutup. Semua kondisi yang berbahaya bagi anak-anak.

Raib tandon tak berjejak, kulit anak berkerak

oleh: Maimun Saleh
Tandon air yang menjadi sumber air warga, raib entah kemana. Air sumur yang berwarna dan payau kembali menjadi pilihan untuk mandi. Hasilnya, kulit pun gatal dan berkerak. Termasuk kulit anak-anak.

Terbenam sia-sia di Lam Awee

oleh: Maimun Saleh


Lam Awee, Peukan Bada, Aceh Besar mendadak senyap, tiada lagi deru mesin pelubang tanah. Senyum pengurus desa merekah serentak. Mesin itu, sudah melubangi tanah sampai kedalaman 150 meter. Warga riang, air bening yang mereka idamkan selama ini akhirnya ditemukan.

Ada harapan di sela-sela debu rumah Leupung

oleh: Iman D. Nugroho

Meski hanya sesaat, debu yang beterbangan usai dam truk melintas di jalan darurat menuju Desa Meunasah Masjid, membuat jalan tanah itu tak layak lagi dilewati. Butiran kecil kecoklatan itu membuat gelap suasana. Di balik pekatnya debu di jalanan itulah, rumah relokasi Leupung berada. Rumah yang menjadi sadaran hidup korban tsunami.

Penduduk enggan relokasi, anak-Anak yang merugi

oleh: Iman D. Nugroho
Siapapun yang menjadi saksi hidup tsunami, pasti menyimpan ketakutan atas kejadian yang menelan korban ratusan ribu jiwa itu. Anehnya, justru kebanyakan memilih tinggal di tempat yang sama ketika mimpi buruk itu menyapa mereka.

Ketika Desa Meunasah belum ramah bocah

oleh: Iman D. Nugroho

Sejak keluarga Unonen membeli VCD player dan televisi, dua anak mereka betah di rumah. Setiap hari, film-film VDC menjadi santapan mereka. “Saya lebih suka anak-anak saya nonton VCD di rumah, dari pada main-main di jalan, karena di sini tidak ada tempat untuk bermain,” kata Unonen. Hmm,..

“Sayang, rumah ini tidak ada dapurnya.”

oleh: Iman D. Nugroho

Terik mentari sedikit tertahan oleh awan yang menggantung ragu di langit Desa Lam Geu Eu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, sore itu. Angin laut berhembus agak kencang. Mengibaskan dedaunan kelapa yang tumbuh menyebar di wilayah itu. Melambai-lambai senada. Saat itulah, waktu bagi ibu-ibu Lam Geu Eu untuk bersosialisasi. Duduk-duduk di teras, sambil melepas lelah setelah seharian mengurus rumah. Termasuk Nurmala.

Dinding pembatas, sahabat sumur yang dirindukan

oleh: Iman D. Nugroho

Langit mulai gelap. Awan memerah di ufuk barat yang mengiringi kepergian matahari pun pelan-pelan mengghilang. Bulan yang sejak sore menunjukkan wajahnya, bertambah terang. Saat itulah waktu bagi Rukmini untuk mandi sore.

Air bercerita, anak-anak yang terluka

Oleh: Iman D. Nugroho dan Maimun Saleh

Air dari sumber air Bukit Ladong menjadi sandaran hidup ribuan orang di delapan desa Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Sayang, berbagai persoalan membuat air jernih itu menjadi “keruh”. Di akhir cerita, anak-anak juga yang “terluka”.