“Sayang, rumah ini tidak ada dapurnya.”

oleh: Iman D. Nugroho

Terik mentari sedikit tertahan oleh awan yang menggantung ragu di langit Desa Lam Geu Eu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, sore itu. Angin laut berhembus agak kencang. Mengibaskan dedaunan kelapa yang tumbuh menyebar di wilayah itu. Melambai-lambai senada. Saat itulah, waktu bagi ibu-ibu Lam Geu Eu untuk bersosialisasi. Duduk-duduk di teras, sambil melepas lelah setelah seharian mengurus rumah. Termasuk Nurmala.

Perempuan berusia 49 tahun ini sedang duduk berdua dengan Darlina, tetangganya. “Ya, beginilah kebiasaan ibu-ibu di sini, capek mengerjakan tugas di rumah, duduk-duduk santai dulu di teras,” katanya membuka obrolan. Darlina tinggal bersama Nurdin, suaminya. Serta Heri dan Rizki, dua anaknya yang kini bersekolah di SMP dan SD di Peukan Bada.

Nurmala adalah salah satu korban selamat tsunami, 26 Desember 2004 lalu. Waktu bencana itu datang, perempuan asli Peukan Bada itu berada di depan rumahnya. Bukan untuk melihat datangnya air laut yang menerjang tiba-tiba, namun menghindari kemungkinan rumah roboh tergoyang gempa yang datang lebih awal. “Waktu gempa pagi itu, kami sekeluarga langsung ke luar rumah, takut rumah roboh, bisa mati sekeluarga kita,” kenangnya.

Ketika Nurmala keluar rumah, dilihatnya para tetangga juga sudah berada di luar rumah. Ada yang duduk bersimpuh, ada juga yang memilih untuk berpegangan di pepohonan yang ada di sekitar rumah. Bumi tidak mau mengerti. Tanah terus bergetar. Beberapa bangunan yang roboh menandakan kerasnya goncangan. Setelah itu, kondisi tenang sejenak. Goncangan berkurang. Penduduk pun lega. Satu-persatu kembali ke dalam rumah.

“Beberapa menit kemudian, terdengar teriakan. Ada air,..ada air,..” kenang Nurmala yang segera mengajak keluarganya keluar rumah. Insting Nurmala benar. Air yang tidak tahu dari mana asalnya, tiba-tiba saja menghempas keras ke pemukiman. Nurmala dan keluarganya yang berlari menuju ke jalan aspal yang berjarak 100 meter dari rumahnya, tertubruk air dari belakang.

Dua anaknya, Heri dan Rizki yang ketika itu berada di pelukan Nurmala pun terlepas. Gelombang membawanya berlalu. Teriakan Nurmala tertahan air yang masuk ke mulutnya. “Saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, mereka terbawa air,” kata Nurmala. Jarak Nurmala dengan maut seakan tidak berbatas. Tipis sekali. Tidak terhitung lagi berapa kali ombak membuatnya timbul tenggelam.

Di saat maut semakin dekat, sebuah pohon Asam Jawa yang juga terbawa arus menabrak tubuh Nurmala. Seperti sebuah isyarat untuk diberi kesempatan kedua untuk hidup, Nurmala meraih pohon itu dan ikut kemana pun pohon besar itu pergi. “Yang penting selamat dahulu,” katanya. Untuk sementara, Nurmala seperti buih di lautan.

Perlahan-lahan air menyusut. Nurmala pun bisa lembali berdiri di atas tanah. Instingnya mencari sang buah hari, serta suaminya. Kelegaan menyergap. Sang buah hati selamat setelah terdampar entah di mana. “Saya tidak sempat bertanya, yang pasti saya sudah lega tahu mereka selamat,” katanya. Beberapa saat setelah itu Nurmal dan keluarga menyadari, kampungnya hilang. Air tsunami meratakan kampung itu.

Barak dan shelter menjadi persinggahan selanjutnya. Hampir setahun keluarga Nurmala hidup di tempat itu. Sampai akhirnya keluarga Nurmala mendapat jatah rumah bantuan dari Plan Aceh. “Tak terbayangkan, betapa bahagianya ketika itu, Plan Aceh membangun rumah untuk kami,” katanya di sela-sela senyum malu di wajahnya.

Di Kecamatan Peukan Bada, Plan Aceh bekerjasama dengan UPLINK membangun 100 rumah. Rumah itu tersebar di 11 Desa. Desa Lam Teh, Desa Lam Ge Eu dan Desa Lam Hasan menjadi kawasan yang paling banyak ditempati rumah Plan Aceh. Jumlah total rumah yang dibangun di tiga tempat itu mencapai 71 rumah.

Agak sulit menemukan rumah yang dibangun Plan Aceh danUPLINK di Peukan Bada. Penyebabnya adalah, rumah yang dibangun Plan Aceh itu memiliki bentuk yang persis sama dengan rumah-rumah yang dibangun oleh non goverment organisation (NGO) lain. Lantaran, para NGO juga bekerja sama dengan UPLINK yang sekaligus mendisain sama bentuk rumahnya.

Akhir Desember ini, sudah sekitar 1,5 tahun keluarga Nurmala hidup di rumah baru Plan Aceh yang dibangun sebuah NGO bernama UPLINK. Bagi Nurmala, rumah baru laksana obat yang menyembuhkan banyak “penyakit” yang dirasakannya pasca tsunami. Terutama sakit kehilangan semua harta benda miliknya. Rumah tempatnya berteduh, barang-barang yang menjadi suport kehidupan keseharian, surat-surat penting hingga masa depan yang terkoyak. Melalui rumah tipe 36 inilah, Nurmala dan keluarganya membangun masa depan pelan-pelan. “Satu persatu kami kumpulkan lagi, meski berat, namun semua kali lakukan,” katanya.

Rumah yang didiami Nurmala memiliki spesifikasi yang memuaskan. Berbeda dengan tembok rumah kebanyakan, tembok rumah Nurmala dibangun dengan batu bata rangkap dua. Tebalnya hingga 20 cm. Bagian dalam rumah dibagi menjadi tiga ruangan. Ruang tamu, dan dua kamar. Kamar mandi terletak di bagian belakang. “Rumah ini memang nyaman, meski kalau di dalam agak panas karena temboknya tebal, dibanding rumah kami yang dulu lebih enak di sini, tapi sayang rumah ini tidak ada dapurnya,” kata Nurmala.

Begitulah, rumah yang dibangun Plan Aceh dan UPLINK tidak memiliki dapur. Bagi sebuah keluarga, dapur tergolong bagian rumah yang vital. Terlebih untuk ibu-ibu di Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki kebiasaan memasak di dapur. Namun, nasib tidak bisa berubah. Rumah jatah tetap tidak memiliki dapur.”Maunya sih, kami membangun sendiri dapurnya, tapi kami tidak memiliki cukup dana,” katanya.

Walhasil, salah satu kamar pun difungsikan menjadi dapur. Di kamar itulah, semua aktivitas masak-memasak di lakukan. Sekaligus menjadi tempat untuk menumpuk pakaian bersih, usai dijemur. “Dari pada tidak ada dapur, kan lebih baik seperti ini,” kata Nurmala.

Namun, persoalan mulai muncul ketika dua anak Nurmala beranjak remaja. Heri, sudah sekolah di SMP Peukan Bada. Rumah dengan satu kamar, tidak nyaman lagi bagi mereka. Selain perlu ada ruang pribadi untuk pasangan suami-istri, Heri dan Rizki adiknya juga mulai butuh kamar untuk menampatkan barang-barang pribadi. “Kami sudah mulai kebingungan,..” katanya.

Darlina, tetangga Nurmala mengaku, persoalan dapur sudah sering menjadi bahan pembicaraan ibu-ibu yang mendapatkan jatah rumah di Desa Lam Geu Eu, Peukan Bada. Meski tidak ada solusi yang pasti, warga di Lam Geu Eu pernah mencoba memberitahukan perihal kebutuhan dapur pada Badan Rekonstruksi dan Rehabilitas (BRR) NAD-Nias. “Tapi sampai sekarang belum ada hasilnya,” kata Darlina.

Tidak adanya dapur mungkin menjadi salah satu “titik lemah” bangunan rumah di Lam Geu Eu. Namun, berdasarkan penuturan warga setempat, pasca tsunami, kawasan yang dimasuki oleh NGO dan direkonstruksi, memiliki penataan yang cukup ideal untuk ukuran sebuah desa. Jalan-jalan yang ada di kawasan itu, sebagian besar sudah beraspal. Bangunan penunjang, seperti sekolahan mulai SD hingga SMA pun berada di tempat yang bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Begitu juga dengan meunasah desa dan puskesmas yang berada di satu area.

Yang tidak kalah penting, di kawasan yang pernah dihempas tsunami itu memiliki papan evakuasi bila bencana kembali terjadi. Papan berwarna biru dua bahasa bertuliskan Jalur Evakuasi Tsunami dan Rout Plung Ie Beuna (jalan lari bila air datang-Bahasa Aceh) penunjuk jalur evakuasi itu terletak di hampir setiap persimpangan.

Meski hanya berukuran sedikit lebih besar dari kardus air mineral, namun papan jalur evakuasi itu terlihat jelas oleh siapa saja yang lewat. Gambar ombak dengan panah menuju ke daerah perbukitan itu tampak menonjol dari berbagai bangunan di sekitarnya. “Kalau tsunami datang lagi, kita tinggal mengikuti jalur itu,” kata Darlina. *

Tidak ada komentar: