Dinding pembatas, sahabat sumur yang dirindukan

oleh: Iman D. Nugroho

Langit mulai gelap. Awan memerah di ufuk barat yang mengiringi kepergian matahari pun pelan-pelan mengghilang. Bulan yang sejak sore menunjukkan wajahnya, bertambah terang. Saat itulah waktu bagi Rukmini untuk mandi sore.

Mandi sore, bagi sebagian warga Desa Naga Umbang, Kecamatan Lhok Nga, Aceh Besar Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi kebiasaan baru. Sengaja, waktu mandi dipilih ketika terang sudah mulai hilang. Karena saat itulah, pandangan orang lebih terbatas. Minimal tidak bisa melihat aktvitas mandi yang dilakukan penduduk Lhok Nga. “Kalau tidak, orang yang lewat bisa melihat kita mandi, malu kan,” kata Rukmini.

Mandi yang dimaksud bukan mandi seperti orang kebanyakan. Tanpa busana selembar pun, sambil asyik mengguyurkan air ke seluruh tubuh. Mandi versi sebagian warga Naga Umbang adalah membasahi badan yang masih tertutup kain. Entah itu baju yang ketika itu dikenakan, atau kain sarung yang dibiarkan menutupi badan ketika air menyapa kulit. Sabun mandi, terpaksa menari-mari di sela-sela baju basah itu.

Bagi sebagian orang, cara mandi itu memang menyulitkan dan tidak nyaman. Namun, sebagian penduduk Naga Umbang tidak ada pilihan selain melakukannya. Tidak ada dinding di sekitar sumur tempat mandi. “Memang tidak ada dindingnya, jadinya kami lakukan mandi seperti itu,” kata Rukmini. “Sulit sih, tapi bagaimana lagi,” tambahnya.

Cara mandi itu memang bukan tradisi turun temurun. Semuanya mulai dilakukan pasca tsunami menghempas Aceh 26 Desember 2004 lalu. Termasuk Lhok Nga. Usai mengungsi di barak dan shelter, korban tsunami mendapatkan jatah rumah. Untuk kebutuhan air bersih, Plan Aceh membantu pembangunan sumur dangkal di tiap rumah yang sumurnya rusak. Tercatat, ada 33 sumur baru yang dibangun Plan Aceh di daerah yang saat tsunami menerjang menewaskan 27 penduduknya itu.

Korban selamat tsunami bersyukur dengan pembangunan sumur itu. Paling tidak, mereka bisa memenuhi kebutuhan air, tanpa harus menunggu mobil tanki air datang dan membagikan muatannya. “Dulu, ketika air bersih masih dibagikan truk tanki, kami harus menunggu-nunggu truk itu tiba, kalau belum tiba juga, ya,..nggak mandi,” kenang Rukmini sambil tersenyum.

Seperti layaknya sumur di Lhok Nga, sumur Plan Aceh di kawasan itu berupa sumur dangkal (shallow well). Dalamnya sekitar 8 meter, dengan bibir sumur setinggi sekitar satu meter di atas permukaan tanah. Di sakitarnya dibangun plester dengan selokan air kotor di salah satu ujungnya. Tidak ada sekat pembatas di sekitar sumur. Total open air.

Di Naga Umbang, sumur Plan memiliki karakter yang berbeda-beda. Di beberapa daerah Naga Umbang, terutama yang ketika tsunami terendam air, sumur baru itu berair payau dan agak asin. Jelas, tidak bisa digunakan untuk air minum. Namun, di bagian desa yang lain, yang lebih dekat dengan bukit, sumurnya berair jernih, tidak berbau dan tidak berasa. Namun, meski berbeda, tetap saja sama-sama tidak memiliki sekat.

Tanpa sekat di sekitar sumur, di satu sisi memudahkan penduduk untuk melakukan aktivitasnya di sekitar sumur. Di plesteran itulah, penduduk Naga Umbang bisa mencuci baju beramai-ramai dengan tetangga. Air kotor bisa langsung di buang, tanpa harus menunggu “giliran” mengalir ke selokan. Namun, yang sedikit menggangu, tanpa sekat berarti “memaksa” penduduk untuk melakukan budaya mandi sore.

Namun, persoalan lain terkait sekat, muncul bagi keluarga yang memiliki anak kecil. Seperti yang dirasakan keluarga Sulaiman dan Eliana juga juga penduduk Naga Umbang. Bagi keluarga itu, rasa was-was selalu muncul bisa melihat sumur itu. Terutama bila dua anak balita mereka, Firzal dan Nabila sedang bermain-main. Eliana khawatir, sumur itu akan mencelakakan si buah hati. “Karena itu, saya selalu mengawasi mereka kalau sedang bermain-main,” kata Eliana.

Perihal tidak adanya sekat pembatas sumur, menurut Rukmini dan Darlina sudah pernah dikatakan ke Plan Aceh. Namun, tidak ada realisasi. Padahal, kata mereka, pembatas yang diharapkan bukan berupa tembok atau seng, kalau memang ada bantuan anyaman bambu pun, penduduk akan menerima. “Syukur-syukur kalau dibangunkan tembok, tapi kalau anyaman bambu saja, kita juga menerima kok,” kata Rukmini.

Lain di Naga Umbang, lain pula di Seubun Ayun, Lhok Nga. Di desa yang terletak di sebelah selatan Banda Aceh itu justru memiliki problem kecilnya sumber air tempat Plan Aceh membangun sumur bor. Akibatnya, hanya 10 menit pompa air dinyalakan, cairan bening itu pun berhenti mengalir, hanya angin yang keluar dari ujung kran air. Hal itu dikatakan Yuslandi, salah satu penduduk Seubun Uyun.

Sumur gali Plan Aceh terletak di depan masjid desa Seubun Ayun. Seperti layaknya sumur bor, sumur bor milik Plan Aceh itu memiliki pompa di bagian atasnya. Tandon air berbentuk bulat berwarna orange berada di menara air setinggi lima meter. Idealnnya, air di sumur bor akan ditarik oleh pompa dan ditampung sementara di tandon air. Dari tandon air itulah, air itu digunakan untuk wudhu jemaah sholat di masjid desa itu.

Akibat tidak lancarnya air di sumur Plan Aceh, masyarakat di Seubun Uyun memilih untuk menggunakan air dari sumur air lama yang berjarak beberapa meter dari sumur gali milik Plan Aceh. Hebatnya, sumur yang ada sebelum tsunami menerjang itu hingga saat ini masih memiliki kualitas air yang baik. “Ini anenhnya, sumur ini masih berair baik,” kata Yuslandi.

Dari pengamatan, air sumur lama itu memang bening. Air itu pun tidak berbau dan tidak berasa. Jumlah airnya pun berlimpah. “Coba rasakan sendiri, memang airnya berkualitas baik,” kata Yuslandi. Karena itulah, air itu digunakan pula untuk air campuran semen dan pasir untuk membangun toilet dan tempat wudhu baru di samping dan belakang masjid.

Kondisi sumur bor Plan Aceh yang cenderung tidak bermasalah dan diandalkan oleh warga sekitar adalah sumur bor di Gampong Baro Lam Nga, Masjid Raya, Aceh Besar. Di lokasi itu Plan Aceh membangun sumur gali yang terletak di pinggiran desa. Dari sumur itu, air ditarik menggunakan pompa menuju ke intake di bagian barat kawasan baru itu. Dengan menggunakan pengaruh grafitasi, air dialirkan ke rumah-rumah yang ada di Gampong Baro.

Salah satu penduduk di Gampong Baro, Ashari mengatakan, keberadaan proyek Plan Aceh di desa barunya itu sangat mempermudah penduduk untuk mendapatkan air bersih. Sebelumnya peduduk selalu memilih untuk mengangsu (mengambil air) di sumber air yang berjarak beberapa ratus meter dari desa itu. “Sungguh menyusahkan ketika itu,” katanya.

Apalagi, keluarga Ashari mempunyai bayi yang baru berusia 2, 5 bulan. Air bersih menjadi salah satu harapan untuk anaknya. Selain untuk mencuci baju, popok dan peralatan bayi lainnya, Ashari mengaku mengkonsumsi air dari intake untuk dirinya dan seluruh keluarga. Termasuk sang bayi, Sifatul Husna. “Kami sangat bersyukur karena air ini,” katanya.***

Tidak ada komentar: