Mimpi sumir punya pompa air

oleh: Maimun Saleh

Sumur menjadi andalan bagi warga di Peukan Bada. Tanpa sumur, warga kesulitan mendapatkan air. Sayangnya, kebanyakan sumur-sumur itu berada di luar rumah, dan dibiarkan menganga tanpa tutup. Semua kondisi yang berbahaya bagi anak-anak.


Menjelang senja itu, Ny. Islahuddin memanggil anaknya, Muhammad Maulana. Perempuan itu meminta Maulana mengantarkan makanan berkuah yang baru saja dibuatnya ke rumah salah satu kerabatnya di kampung tetangga. "Tolong antarkan kuah nanti ya," pinta Ny. Islahuddin dalam bahasa Aceh. Maulana mengiyaka.

Sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh untuk saling mengirim penganan berbuka puasa selama Bulan Ramadhan. Selain untuk menjaga silaturahmu, hal itu dilakukan karena semangat untuk saling berbuat baik selama bulan suci itu.

"Baik bu, tapi saya mandi dulu!" Maulana menjawab ibunya. Anak penggemar sepak bola itu berlalu menyambar handuk. Menuju ke kamar mandi di belakang rumahnya. Tak lama berselang. Suara guyuran air menyentuh lantai. Byur,..byur! Tiba-tiba, suara guyuran itu berganti suara mengaduh, setelah itu terdengar suara erangan.

Rupanya, itu suara Maulana yang meringis kesakitan. Bocah 13 tahun itu mendapati kakinya berdarah. Ia terpeleset. Salah satu kakinya membentur sudut pondasi kamar mandi. Luka menganga sepanjang jari telunjuk menciptakan rasa perih. Apalagi ketika Maulana berjalan. "Saya tidak lupa kejadian itu, kalau ingat masih miris," katanya.

Luka sepanjang jari telunjukknya itu hingga kini masih berbekas. Pelajar SMP 2 Peukan Bada, Aceh Besar itu ingat betul, ketika itu dirinya tidak sedang tergesa-gesa. Satu hal yang memnyebabkan kecelakaan itu terjadi adalah licinnya lantai kamar mandi.

Kamar mandi yang setiap hari digunakan keluarga Islahuddin hanya berlantaikan semen atau plasteran. Sebagai anak seorang nelayan di Meunasah Tuha, Peukan Bada, Aceh Besar, mengganti lantai plester menjadi lantai keramik yang tidak licin atau melapisinya dengan plastik selip adalah hal “besar”. Tidak ada uang untuk itu.

Apalagi menyulap sumur bantuan Plan Aceh itu menjadi kamar mandi yang menyatu dengan rumah.

Untuk membuat kamar mandi itu “nyaman”, Islahuddin, ayahnya Maulana, hanya mampu menutup sekeliling kamar mandi dengan plastik. Sekedar tidak terlihat dari luar bila digunakan. “Yang penting bisa digunakan, sudah cukup bagi keluarga kami,” kata Maulana.

Kondisi itu disadari oleh Sekretaris Desa (Sekdes) Meunasah Tuha, Rusli. Ia menyatakan sebagian warga di Meunasah Tuha yang berekonomi cukup, memang mampu merenovasi sumur dan kamar mandi milik mereka. Bahan, ada yang menyatukan kamar mandi menjadi satu dengan rumah. Namun, mayoritas justru tidak seperti itu. Sumur tetap berada di perkarangan. "Kalau butuh air tinggal ditimba saja," katanya beberapa waktu lalu.

Salah satu warga yang lain, Santi, adalah salah satu warga yang hidupnya lebih beruntung. Walau sumurnya juga berada di belakang rumah dan berhimpitan dengan selokan, namun, suaminya mampu membeli pompa air untuk menarik air dari sumur ke kamar mandi di dalam rumah. Al hasil, bila perlu air, ibu rumah tangga ini tidak perlu repot-repot keluar rumah. Tinggal menamcapkan pompa air, dan membuka kran.

Maulana punya harapan demikian, suatu saat orangtuanya mampu membuat kamar mandi di dalam rumah. Lalu air sumur ditarik dengan pompa. Airnya akan ditampung di bak kamar mandinya. Selain takut terpeleset lagi, anak berkulit legam ini mengaku letih menimba dari dalam sumur. "Enak rasanya mandi di dalam rumah pakai gayung," harap bocah berambut ikal itu.

Tidak hanya Maulana. Kedua orang tua anak itu pun sedikit was-was bila melihat sumur itu. Betapa tidak, sesekali adik Maulana yang masih berumur tujuh dan delapan tahun sering terlihat bermain di sekitar sumur. Bukan tidak mungkin, bila ada “setan lewat”, adik Maulana akan terlepeset dan jatuh ke dalam sumur.

Sumur yang dibangun Plan Aceh memiliki batas bibir sumur dengan ketinggian 1 M. Dari permukaan tanah, dalam sumur itu lima hinga enam meter. Itu merupakan standar sumur-sumur warga sejak sebelum tsunami. Meskipun tidak ramah anak, jarang pula warga yang menutup sumurnya.

Maulana paling ngeri bila melihat adiknya coba-coba untuk mengambil air dengan menimba. Bocah ini mengenang, satu hal yang dilarang orang tuanya pada kedua adiknya yakni menimba di sumur. Karena itu, Maulana selalu menyediakan air dalam ember untuk keduanya. “Mereka tidak pernah menimba air sendiri, selain nggak kuat, ketinggian sumur melebih tinggi tubuhnya,” kata Maulana singkat.

Atas alasan itu kondisi yang lebih baik, dua adik Maulana saat ini tinggal di rumah neneknya. Maulana tidak ingat di mana. "Adik dikirim ke rumah nenek," kata pelajar yang masih duduk di kelas satu sekolah menengah pertama itu. Hampir setiap bulan, Maulana dan keluarganya mengunjungi adiknya.

Terkait kualitas air, menurut Mualana, air sumurnya sangat bersih. Entah mengapa, kedua orang tuanya tidak mengunakannya sebagai air minum. “Hanya bisa dipakai untuk mandi saja, selama pakai air sumur saya tidak pernah gatal-gatal," katanya,” katanya. Untuk minum dan memasak keluarganya mengkonsumsi air isi ulang.*

Tidak ada komentar: