Sebagian mimpi Lam Tutui berganti Mon Ie

oleh: Maimun Saleh

Berulang kali, Syahbudin menunjuk ke arah bukit karang Gle Lam Tutui, beberapa kilometer dari tempatnya berdiri. Ia tidak sedang mengkhawatirkan kondisi rimba. Malainkan gemas pada watertank yang tegak di kaki bukit.


Setahun usai petaka tsunami, sebuah NGO yang berpusat di Jogjakarta, membangun “mimpi” sumber air Glee Lam Tutui. Rencananya, air yang ada di sumber air itu akan mengalir hingga ke tujuh desa di Peukan Bada, Aceh Besar. Air yang mengalir deras itu berhenti di fasilitas umum, semisal meunasah (surau). Setelah itu berlanjut sampai ke rumah-rumah warga.

Desa Meunasah Tuha, adalah salah satu kawasan yang diproyeksikan menikmati air Lam Tutui itu. Jelas, warga yang ada di sana menunggu dengan gembira. Bayangan mendapatkan air bersih yang selama ini langka, terbayang jelas. Sejak sebelum tsunami, desa yang kini hanya berpenduk sekitar 300-an jiwa itu memenuhi kebutuhan airnya dari sumur yang ada di tiap rumah.

Namun, tsunami membuyarkan semua. Gelombang yang menghempas keras ke kawasan itu menabur asing dan bau ke dalam sumur-sumur warga. Air sumur yang awalnya jernih, usai tsunami berubah bau dan berwarna agak gelap.

NGO lokal yang berkonsentrasi terhadap pengelolaan air itu ingin menghapus semua mimpi buruk itu. Mereka serius ingin mewujudkan obsesi air bersih gratis yang diidamkan warga. Hanya beberapa bulan setelah musyarawah bersama; pipa-pipa telah membelah jalan-jalan desa, watertank tersebar di meunasah-meunasah. Tinggal selangkah lagi, dream come true..Sampai akhirnya warga seakan terjaga dari ‘mimpi’, air telah mengalir ke desa mereka.

Sayangnya, cerita bahagia tak berlangsung langeng. “Ya…hanya dua bulan,” kata Syahbudin, Sekretaris Desa Meunasah Tuha. Pelan-pelan, air kembali mengering. Kadang mengalir, kadang tidak. Waktu beranjak lama, air pun tiada. Lantas, warga kembali menyandarkan kebutuhan air pada suply mobil. “Waktu itu ada beberapa LSM yang bawa air, termasuk Plan Aceh,” katanya.

Padahal menurut Syahbudin, perencanaan pengelolaan air sudah cukup baik. Kelak, warga berencana membentuk organisasi yang bertugas untuk mengelola air. Bahkan, ada usulan, warga akan diizinkan untuk menarik pipa dari meunasah hingga ke rumah. Syaratnya, warga harus membayar iuran pengelolaan air. Usulan itu disepakati. Tinggal menunggu realisasi.

Usulan tinggal usulan. Air bersih kembali menjadi mimpi. Gagasan cemerlang itu tidak berjalan seiring macetnya air dari Glee Lam Tutui. Bagi Syahbudin, tanpa air maka sia-sia organisasi itu bila terbentuk.”Apanya yang mau diurus? Semua rencana sudah tidak mungkin terealisasi,” tanya pria 30 tahun itu sambil. Pandangan terlempar jauh ke arah bukit.

Menurut Syahbudin, debit air Gle Lam Tutui memang tidak cukup untuk mengaliri tujuh desa. Mata air hanya bisa memenuhi kebutuhan satu desa saja. . Bila musim kemarau tiba, mata air juga mengering. “Harusnya dibuat di Lam Tutui saja, proyek buang-buang uang. Seperti tidak tahu mau bawa uang kemana lagi!” katanya.

Pengurus desa Meunasah Tuha sadar betul bahwa mobil tanki air tak akan selamanya datang ke desa mereka. Namun di sisi lain, 270-an keluarga di Meunasah Tuha jelas tak bisa membendung kebutuhan air sehari-sehari. Untuk memasak air, membuat makanan hingga untuk kebutuhan membersihkan perabotan. Semuanya membutuhkan air bersih.

Akhirnya, April lalu pengurus desa Meunasah Tuha melayangkan proposal ke Plan Aceh. Mereka memohon NGO itu memberi bantuan berupa pembangunan sumur. Tidak sedikit jumlah sumur yang diusulkan. Mencapai 120 unit dengan anggaran mencapai Rp.152 juta. Proses pembangunan fisik memakan waktu sekitar tiga bulan.

Plan Aceh mengabulkannya. Proses pembangunan sumber air baru itu pun dilakukan. Menurut salah seorang warga, kedalaman sumur sesuai dengan kedalaman standar sumur warga dulu. Rata-rata mengunakan 11 sampai 13 cincin sumur atau sekitar 13 meter. Ia gembira proses pembuatan sumur bisa melibatkan masyarakat langsung. Sehingga hasilnya, sesuai keinginan warga.

Waktu berlalu. Harapan warga yang sangat besar pada sumur-sumur itu sebagian tetap menjadi kenyataan. Meski sebagian warga yang mengharapkan air sumur itu untuk diminum memilih mengkonsumsi air isi ulang galonan, namun tetap ada yang mengkonsumsinya.

Sumur yang tersebar di pekarangan, rumah warga dan tidak jauh dari toilet darurat pasca tsunami itu. Salah satu contohnya sebuah sumur di belakang rumah mungil bercat hijau yang tampak asri di sudut desa Meunasah Tuha, Peukan Bada. Di belakang bangunan itu, tumbuh beberapa pohon muda. Di antaranya, kandang ayam reyot tampak tak terawat. Tak jauh dari kandang, sebuah toilet darurat. Kondisinya sunguh memprihatinkan. hanya di balut plastik dan sudah terkoyak. Di pintunya bertulis; “KHUSUS PEREMUAN.”

Hanya beberapa langkah dari kandang dan toilet, teronggok sebuah sumur yang berlogo Plan dan bertulis angka 26. Sumur itu sekelilingnya dicor semen. Parit yang diuruk hanya beberapa centimeter dari permukaan tanah menghimpit sumur. “Tak semua rumah sumurnya di luar,” jelas Syahbudin, warga setempat.

Sumur itu berair bening, hanya saja sedikit berbuih dan mengendapkan air sabun di atas permukaannya. Jelas, dari kondisi fisiknya, air di sumur itu tidak bisa diminum. “Kami tidak minum air itu, cuma untuk nyuci dan mandi saja,” kata Santi, 30 tahun, pemilik sumur tersebut.

Santi menceritakan, meski berair tidak jernih, tetap keluarganya menyandarkan kehidupannya di simur itu. Suami Santi, menarik air sumur dengan pompa mesin ke dalam bak kamar mandi dalamnyanya. “Airnya sedikit bau kalau dari sumur kami, mungkin karena daun-daun itu,” katanya. Untuk kebutuhan air minum, keluarga Santi memilih membeli air isi ulang ukuran galon.

Meskipun airnya berbuih, Santi menilai kualitas air dari sumur cukup baik. Tidak ada satupun anggota keluarga yang terserang penyakit kulit. Tak terkecuali, Rusida buah hatinya. Balita berusia 1,7 tahun itu pun terlihat enjoy dengan air sumur itu. Sejak dimandukan dengan air simur itu dua bulan lalu, Rusida tidak mengalami gatal-gatal.

Kulit anak balita bisa menjadi indikator bisa tidaknya air itu digunakan. Menurut Santi, balita memiliki kulit yang masih tipis dan peka. Sedikit saja ada yang tidak normal, maka akan muncul reaksi. Namun tidak dengan air simur itu.

Santi mendengan, ada warga yang tak hanya mengunakan air sumur untuk mandi dan mencuci. Tapi juga menggunkan air tersebut dipakai untuk minum. Biasanya keluarga miskin yang tidak mampu membeli air galonan. Anehnya, belum ditemukan ada warga yang terkena serangan penyakit pencernaan. “Meski sedikit payar, airnya bening,” ungkap Santi mempertegas.

Syahbudin, menyatakan sumur tersebut sangat berguna bagi bagi masyarakatnya saat ini dan di masa yang akan datang. Menurutnya memang sedikit terjadi perubahan prilaku warganya. Kini, sebagian warga lebih memilih untuk mengkonsumsi air isi ulang dari pada memasak air sumur. Padahal menurutnya, dulu warga untuk minum juga dari sumur. “Sudah agak genit gitulah,” kata Syahbudin sambil terkekeh.

Yang jelas kini warga telah menikmati air tawar dari perkarangan rumah. Bahkan ada beberapa rumah yang menyelinapkan air sumur itu pada bak di kamar mandi dengan pompa aor. Sebuah kenyataan, warga telah kembali ke zaman sebelum tsunami menyapu pesisir Aceh. “Dari pada mimpi air Lam Tutui masuk ke sini, lebih baik begini,” Ungkap salah seorang warga.*

Tidak ada komentar: