Raib tandon tak berjejak, kulit anak berkerak

oleh: Maimun Saleh
Tandon air yang menjadi sumber air warga, raib entah kemana. Air sumur yang berwarna dan payau kembali menjadi pilihan untuk mandi. Hasilnya, kulit pun gatal dan berkerak. Termasuk kulit anak-anak.


Siang itu, meunasah Lam Geu Eu di kanan jalan Ule Lheu, Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh menuju Simpang Rima, Peukan Bada, Aceh Besar itu tampak sepi. Walau sekelilingnya, hamparan rumah-rumah warga, namun perkarangan dan lorong di samping meunasah tak satupun parkir kendaraan.

Tahun lalu, meunasah Lam Geu Eu punya riwayat manis. Bangunan itu selalulu ramai, bahkan sampai malam tiba. Bukan dikunjungi warga karena rapat desa atau waktu shalat, tapi ini semuanya kedatangan puluhan orang itu membawa jirigen. "Entah dari mana saja yang datang kemari, dari Lam Pisang juga ada," kenang salah seorang warga.

Kala itu, pusat kunjungan warga ke tandon air berkapasitas 2.000 liter yang dibangun Plan Aceh. Bagi masyarakat, hanya penyimpanan air itu tumpuan harapan. Masalahnya, tsunami meningalkan asin, bau dan warna pekat air sumur warga. "Di situ kami tidak pernah khawatir putus air," kata Rasidah.

Air dalam tandon itu sendiri dari Water Treatment Plant (WTP), Tirta Montala, Lambaro, Aceh Besar. Walau pipa perusaan air minum daerah itu belum sempat menyapa rumah-rumah warga di Lam Geu Eu dari sebelum tsunami, namun warga dapat memenuhi kebutuhannya. Dengan berkala Plan Aceh mengantar air dengan mobil tangki.

Mei dua tahun silam, WTP Tirta Montala menjadi sumber air terpenting bagi masyarakat Aceh Besar dan Banda Aceh. Kesibukan di sekitar WTP tergolong “super”. Setiap hari, sedikitnya 40 mobil tangki hilir mudik. Mulai pagi hingga pukul 5 sore, sudah 120 mobil tangki terisi. Dari sana, terkirim air 1,5 juta liter setiap hari ke Aceh Besar. Hebatnya, airnya langsung dapat diminum.

Bak semut mendapat gula, warga berkerumun di tandon. Setidaknya, di Kecamatan Peukan Bada air tersuplai mencapai sedikitnya 504.000 liter/bulan. Sementara Lam Geu Eu mengkonsumsi sedikitnya 39.000 liter setiap bulannya. Sayangnya, kisah bahagia warga punah justru sebab keteledoran pekerja saat pembangunan meunasah. Seketika, harapan masyarakat punah dalam hitungan detik, persis kepingan tandon yang sekarang tak berjejak. Lam Geu Eu kembali sepi.

Rasidah, salah satu warga menceritakan, hilangnya tandon itu. Ketika itu, Rasidah mengaku sangat sempat kelimpungan. Tak hanya karena Amalia Putri, anaknya yang baru berusia delapan bulan selalu merengek, tapi keresahan pada jirigen air miliknya yang hanya berisi angin. Sementara, setiap menjelang magrib, ia harus menyiapkan sarapan malam. Sang suami yang biasanya mengambil air dari tandon yang hanya berjarak beberapa meter saja kembali begitu cepat.

Tiada antrean sore itu. Suaminya kembali dengan jirigen isi 20 liter yang kosong. Tandon yang biasa menjadi sumber air, pecah tertabrak truk barang. "Tidak ada lagi air. Tempat air (tandon) sudah pecah kena truk barang!" kata perempuan yang kini berusia 34 tahun itu mengenang ucapan suaminya.

Keluarga Rasidah hanya sempat menikmati air bening satu bulan saja. Kalau tidak salah ingat, katanya, bahkan ada tetangga yang belum sempat mengunakan air tersebut. Pasalnya ketika tandon itu dibangun Plan Aceh, semua warga belum kembali dari barak pengungsian. "Sekarang susah sekali air," kata warga Lam Geu Eu itu.

Namun, hidup terus berjalan. Rasidah dan keluarganya berusaha keras untuk memperoleh air bersih. Setelah segala upaya dilakukan untuk memperbaiki kualitas air sumur yang disisakan tsunami gagal, ia membuat sumur baru di perkarangan rumahnya. Hasilnya nihil. Sumur yang baru dibangun bulan lalu itu berair sama; payau.

Lazimnya, desa-desa di Aceh Besar beberapa tahun usai tsunami, mayoritas warga Lam Geu-Eu, mengkonsumsi air isi ulang. Tak terkecuali, keluarga Rasidah yang mulai berlangganan air bening merek lokal Aceh setelah tandon hancur tak berjejak.

Soal air bersih, para ibu rumah tangga paling getol angkat bicara. Soalnya, air bagi mereka tak hanya untuk minum dan mandi, tapi juga menyuci dan memasak. Bagi yang memiliki balita, ini menyangkut fisik si buah hati. "Tidak mungkin kan mandi pakai air isi ulang? Jadi terpaksa air sumur, sampai sekarang anak saya gatal-gatal. Liat bintik kakinya," kata Sidah sambil menunjuk kaki anaknya yang masih berusia 1,7 tahun.

Lain lagi di dusun Lam Blang. Warga mengaku kecewa terhadap Plan Aceh. Harapan warga pada Plan Aceh bersedia membantu memfasilitasi kebutuhan air bersih, belum juga dikabulkan. Salah seorang warga bahkan mengaku. telah melayangkan permohonan ke Plan Aceh. Sayangnya, hingga kini masih belum mendapatkan tanggapan. "Atas nama Sekdes (Sekretaris Desa), warga sini ajukan proposal agar Plan Aceh mau bantu air," kata Ani Mutia, salah seorang ibu rumah tangga asal Lam Blang.

Di desa rawa-rawa ini, dusun-dusunnya tidak pernah tersentuh air dari peruhaan air minum kabupaten Aceh Besar. Setiap rumah mengandalkan sumur. Namun seperti yang sudah-sudah, sebelum tsunami air tidak asin dan berwarna. Usai bencana justru kebalikannya.

Sebuah NGO International berusaha menutup kebutuhan air dengan menyuplai air bersih ke Lam Blang. Sebuah tanki penampungan ukuran ratusan liter ditempatkan di sana. Hanya berselang semingguan setelah tsunami, warga sudah kembali ke desa. Gubuk-gubuk darurat mulai berdiri. Ironis, begitu seluruh warga korban selamat kembali ke desa, pasokan air justru dihentikan. "Drum kuningnya saja sudah dicopot terus di bawa ke rumah itu," kata Ani sambil menunjuk rumah tetangganya. Sejak itu, warga kembali mengunakan air sumur yang masih berwarna dan payau. Tenu saja, air sumur hanya digunakan untuk mencuci dan mandi.

Ani Mutia mengatakan, air isi ulang menjadi andalan untuk minum. Sebagian lainnya, seperti Ani, membeli air dari pedagang air asongan satu jirigen 20 liter harganya Rp 1.000. Ia sendiri tidak tahu air itu diambil dari mana. Tapi yang jelas menurutnya, air itu tidak dibeli oleh si pedagang. "Cuma ongkos ambil saja, kadang-kadang juga kami kasih Rp 1.500. Kasihan kakek itu sudah tua," jelas Ani.

Menurut Ani, sumber mata air bersih di Peukan Bada tidak hanya di Lam Tutui. Di Wilayah Lam Isek, juga ada mata air. Sempat pula, ada NGO yang memasang instalasi pipa sampai Lam Blang. Rumahnya juga sudah ada pipa. Tapi air tak kunjung tiba. Ia sendiri tidak tahu sebab pasti.

Sempat tersiar kabar, salah seorang warga di desa Gurah tidak menjual tanahnya. Padahal, pipa harus melintasi tanahnya. Walhasil, upaya mengaliri air ke rumah-rumah warga, buntu. "Jadi air tidak pernah sampai," keluh Ani.*

Tidak ada komentar: