Terbenam sia-sia di Lam Awee

oleh: Maimun Saleh


Lam Awee, Peukan Bada, Aceh Besar mendadak senyap, tiada lagi deru mesin pelubang tanah. Senyum pengurus desa merekah serentak. Mesin itu, sudah melubangi tanah sampai kedalaman 150 meter. Warga riang, air bening yang mereka idamkan selama ini akhirnya ditemukan.


Warga yang hendak shalat di meunasah (surau) tidak perlu lagi bersusah payah menimba air, cukup mengayun gayung dalam bak penampungan. Pompa air dan segala pernak-perniknya sudah lengkap tersedia. Sekitar dua hari lagi sumur bor akan hadir di meunasah Lam Awee.

Sunguh tidak disangka, hari penantian bagai samudra tak bertepi. Usai gempa, dari barat dan timur gelombang raksasa melumat Lam Awee hingga tiada sisa. Kampung itu tak hanya rata tanah, tapi lebih setenggah penduduk meninggal. Bencana akhir tahun 2004 itu, duka seantero dunia.

Beberapa pekan usai petaka melanda, Lam Awee kembali berdenyut. Persis di tengah desa, cahaya teplok terus menyala saban malam dari gubuk yang didiami Bila pagi tiba, sejumlah warga kembali desa dari berbagai titik pengungsian. Perlahan-lahan, warga membangun kembali desanya dari puing dan pohon hanyut.

Riwayat Lam Awee membangun bukan tak mendapat aral. Bahkan desa yang berpenduduk 109 keluarga sebelum tsunami itu, nyaris tinggal nama hanya sebab penduduk yang tersisa cuma 50-an keluarga. Dewan rakyat kabupaten bahkan sempat mencetus niat meleburkan Lam Awee ke Lam Manyang, desa tetangganya. Banyak yang menolak usulan itu.

”Jumlah penduduk kami tidak cukup lagi menjadi desa,” kata Nasruddin Juned, 34 tahun, salah satu penduduk Lam Awee. Dalam sebuah pertemuan dengan anggota dewan, Nasruddin sempat menyatakan harapan agar pemerintah tidak melihat saat ini, tapi masa depan.

Master plan pembangunan kembali Aceh usai tsunami-pun mengusik keberadaan Lam Awee, yang tak sampai satu kilometer dari bibir pantai itu. Pemerintah tak mengizinkan ada pembangunan di bekas perkampungan yang berjarak kurang dari dua kilometer dari laut.

Lazimnya desa-desa pesisir, warga Lam Awee mengacuhkan Master Plan. Selain tak ingin jauh dari keluarga dan kerabat dekat, mereka juga tak mau berjarak dari laut sumber nafkahnya. Tekad kembali ke desa, mendapat sokongan lembaga kemanusian dalam dan luar negeri. Berbagai jenis bantuan masuk desa dari logistik hingga infrastruktur.

Sampai akhirnya, NGO-NGO international meluncurkan program cash for work. Jelas masyarakat gembira, untuk pertama dalam sejarah Aceh, membersihkan kampung sendiri diberikan upah Rp 30.000 sampai Rp 40.000 perharinya. Kerjanya pun silih berganti.

”Sejak itu semangat gotong royong menghilang. Masyarakat jadi membuat perbandingan, dulu dikasih uang sama NGO. Kalau tidak ada uang sekarang mereka tidak mau lagi gotong royong,” kata Nasruddin yang pernah menjadi Geuchik (kepala desa) sehabis tsunami itu. ”Saya pernah buat gotong royong bersihkan selokan yang datang hanya 10 orang,” katanya.

Kini tiga tahun sudah tsunami berlalu. Desa di Peukan Bada, Aceh Besar itu sudah berbenah, lebih mirip kompleks perumahan dari pada perkampungan nelayan. Jalan desa licin tak berlubang hingga ke sudut dusun-dusun. Jalan diapit lampu tenaga surya. Tiada air tergenang di selokan. Namun, bila hujan air mengendap di perkarangan rumah sebab jalan lebih tinggi.

”Puskesmas ada, pendidikan sudah ada, tempat pertemuan sudah ada, kampung sudah bersih, rumah-rumah sudah ada,” jelas Nasruddin dua hari setelah posisinya tidak lagi menjadi Geuchik. Namun satu hal masih mengelayut dalam pikiran Nasruddin dan masyarakat Lam Awee; bagaimana memperoleh air bersih tidak payau. Sejak sebelum tsunami, warga sudah mengimpikannya. Sebuah impian impian yang hampir saja menjadi kenyataan.

Berbagai upaya ditempuh, namun tidak satupun berhasil. Sebuah NGO asal Jogjakarta, bahkan sempat membantu mengalirkan air dari mata air bukit Lam Tutui, sekitar tak dua kilometer dari Lam Awee. Keran air telah sampai ke lorong-lorong. Sayangnya hanya sebatas pipa, air tidak ikut serta. Warga mensinyalir, sumber air memang tidak cukup. ”Cuma cukup untuk Lam Tutui saja,” kata salah seorang warga di Meunasah Tuha, Peukan Bada, Aceh esar.

NGO tersebut bahkan telah menyiapkan perangkat desa yang bekerja untuk mengurus distribusi air di tujuh desa yang dialirkan. Warga diharapkan membayar iuran untuk kebutuhan operasional. Lam Awee sendiri menolak rencana itu. ”Tidak ada jaminan air akan terus mengalir,” kata Nasruddin.

Laki-laki bermata tajam itu pun melayangkan permohonan ke Plan Aceh. Perencanaannya serupa, dari sumber air dialirkan ke rumah-rumah warga. Hanya saja, tidak dari mata air Lam Tutui melainkan dari meunasah. Sumur bor yang dihantam tsunami direhap kembali.

Gayung bersambut. Permohonan itu direalisasikan oleh Plan Aceh. Hanya berselang sebulan setelah permohonan, pembangunan sudah dimulai. Nasruddin memperkirakan sedikitit 1.200 meter pipa sudah terkubur mengelilingi Lam Awee. Masyarakat gembira, harapan sekian lama terwujud juga.

Usai sudah pembangunan saluran air, warga pun menikmati cairan besih yang mereka idamkan. Senyum kembali tertelan, air hanya mengalir sekitar 15 hari saja. Di jalan, pipa-pipa terangkat dari tanah. Menurut Nasruddin, itu sebab kurang kehati-hatian pekerja saat membuat selokan. ”Rasa memiliki barang umum memang sudah berkurang sejak tsunami,” katanya.

Masalah tak berakhir sampai di situ, mesin penarik air di meunasah juga raib. Hingga kini, pencurinya belum diketahui. Geuchik ini mengaku tak habis pikir kenapa mesin penarik air bisa digondol maling. Ia menyatakan telah melaporkan peristiwa itu ke Plan Aceh. Lewat sebuah pertemuan, Plan Aceh berkomitmen akan kembali menghidupkan sumur bor. Asalkan mesin penarik air yang hilang diganti pihak pengurus desa.

Sempat terjadi debat antara nasruddin dengan pihak Plan Aceh. Plan dilinai mengada-ngada. Menurutnya, dalam kontrak pihak pengurus desa akan mengantikan aset yang hilang atau memperbaiki aset yang rusak bila telah terjadi serah terima. Hingga akhir negosiasi, tidak ada titik temu. Tak dapat dielakkan hubungan Plan Aceh dan Lam Awe merengang.

Namun menurut Nasruddin, saat ini sumur bor telah diaktifkan kembali, walau hanya difungsikan untuk kebutuhan meunasah saja. Sayangnya, sudah ratusan meter pipa yang terbenam sia-sia di tanah Lam Awee. ”Mau bagaimana, sulit sekali mengembalikan rasa memiliki terhadap fasilitas dalam masyarakat,” kata Nasruddin.*

Tidak ada komentar: