Sang penjaga dan penjaja air

oleh: Maimun Saleh dan Iman D. Nugroho

Penjaga dan penjual air menjadi pihak yang sering dituding sebagai hulu dan hilir persoalan air di Ladong-Lamreh. Padahal, keduanya mengaku hanya menjalankan peran masing-masing. Berikut kisah keduanya.


Di beberapa sisi, cahaya menyelinap dari sela-sela atap seng yang tidak rapat. Menyinari dinding dan lantai rumah itu dari papan bekas itu. Tak ada pula sekat penanda kamar. Di salah satu sudut rumah yang lazim disebut gubuk di kota besar ini terdapat televisi 21 inch, VCD player dan kulkas merek ternama.

Di perkarangan rumah, terparkir sebuah becak barang. Gabus jok yang menganga, rangka karatan, stang yang miring dan lemburan oil di badan mesin, cukup menandakan motor itu dipaksa jalan. Kendati nyaris dapat disebut bangkai becak, namun kenderaan itu adalah topangan Baktiar untuk menghidupi tujuh anaknya.

”Baru saja saya pulang dari bengkel untuk memperbaikinya. Nanti setengah tiga, saya baru akan bekerja,” kata Baktiar Harun, 48 tahun, warga Meunasah Keude, Krueng Raya, Aceh Besar, pemilik becak itu. Pekerjaan yang dimaksud Bahtiar adalah keliling kampung menjual air minum untuk warga Desa Lamreh. Dengan tungangan becak motor miliknya tentu.

Tak ada yang berubah dari pekerjaan Baktiar, sebelum maupun hingga tiga tahun tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam. Ia masih menjadi tukang becak barang. Hanya saja, bila dulu laki-laki berparas tegas ini harus mengayuh sepeda, dan kini mengendarai sepeda motor. Dulu apapun diangkut, sekarang hanya air. Wilayah operasinya-pun hanya ke kampung tetangga; Lamreh, Aceh Besar.

Kampung itu, bisa disebut pasar air yang menjanjikan limpahan rupiah. Bagaimana tidak, sejak tsunami menyapu pesisir Aceh, air sumur warga masih asin dan berbau amis. Jangankan untuk minum, untuk mencuci saja warga enggan untuk menggunakannya. Tapi karena tidak ada pilihan, air itu tetap berguna. ”Kita cuci baju saja, sabun tak lengket,” kata Rusmanidar, 60 tahun, warga Lamreh.

Di Dusun Inong Balee, Desa Lamreh yang berada di atas bukit, warga bahkan tak memiliki sumber air. Untungnya, para pengungsi itu mendapat bantuan sumur bor dari salah satu organisasi palang merah Internasional. Meskipun kondisi airnya tidak berbeda. ”Airnya asin, berkarang dan bau amis,” kata Nazir, salah seorang warga. ”Kami bayar Rp 40.000/bulan untuk bayar listrik.” Lagi-lagi, air itu tidak untuk konsumsi sebagai air minum. Hanya untuk mencuci pakaian dan cuci motor.

Menurut Syahrizal, Sekretaris Desa Lamreh, saat ini terdata sedikitnya 1.650 jiwa atau 450 keluarga warganya yang selamat dari tsunami. Dan sampai kini, kata Syahrizal, pihaknya seringkali kelimpungan menghadapi desakan warga ihwal pengadaan air. ”Persoalan air memang menjadi persoalan yang utama bagi warga Desa Lamreh, semoga saja segera ada solusinya,” kata Syahrizal.

Kondisi seperti itulah yang membuat Desa di lereng bukit yang berbatasan dengan pantai itu menjadi sasaran penjual air. Seperti Baktiar. Walau tak menghitung jumlah warga Desa Lamreh, Baktiar jelas tahu tingginya kebutuhan air di kawasan itu. Tak heran bila dua tahun silam, laki-laki berkulit legam itu memilih membeli sepeda motor bekas seharga Rp 1, 5 juta. Sepeda motor itu dikombinasikan dengan rangka becak yang dibelinya seharga Rp 750 ribu. Setelah dirasa cukup kuat, becam motor itu digunakan untuk mengangkut air.

Azdan Subuh pukul 5 pagi, seakan signal bagi Baktiar untuk memulai kesibukannya sebagai penjual air. Usai melaksanakan shalat dua rakaat itu, guru mengaji di lokasi pengungsian ini memacu becak miliknya menuju hidran umum (HU) Desa Ladong. Dinginnya pagi pun dihiraukannya. Tepatnya di HU yang terletak di samping Masjid Desa Ladong. Biasanya, di tempat itu mulai tampak penjual air yang berbaur dengan penduduk setempat yang juga ingin mengambil air.

Bila gilirannya tiba, dengan cekatan, diisinya jirigen-jirigen miliknya dengan air bersih dari HU. Sebelum matahari terbit, Bahtiar sudah mengisi penuh 18 jirigen berkapasitas 30-an liter. Bergantian dengan 10-an pedagang air keliling lain yang juga melakukan hal yang sama. Usai proses mengisi, dipacunya becak motor itu menuju ke Desa Lamreh. Pelanggan sudah menunggu. Wuss,..Maklum, ada tujuh warung nasi dan warung kopi yang sudah menantinya. Tak hanya itu, sedikitnya 25 keluarga menunggu kucuran air darinya. Semua berstatus langganan.

Di mata Baktiar, apa yang dilakukan bukan proses jual-beli air. Dirinya hanya menganti ongkos bensin dan uang lelah. Ia pun memasang tarif lumayan murah untuk langanannya. Hanya Rp 5.000/tiga jirigen. Untuk pembeli eceran, ia mematok harga rata-rata Rp 1.500 sampai Rp 2.000.

Air di hidran umum pun didapat dengan Cuma-Cuma. Hanya saja, pengurus masjid menaruh tabungan amal di sekitar hidran. Harapannya, orang yang mengambil air menaruh sumbangan. ”Itu kan amal, apalagi itu digunakan untuk kebutuhan masjid.” kata Baktiar. ”Tak ada yang meminta uang di situ.” Namun ia tidak menampik, kalau setiap pedagang air memasukkan uang Rp 3.000/perbecak.

Uniknya, meski hanya berurusan dengan air, Baktiar memberi service luar biasa kepada pelanggannya. Rusmanidar, salah seorang pelanggan yang kagum padanya. ”Baktiar tidak pernah absen, kecuali bila becaknya masuk bengkel saja,” kata Rusmanidar. Namun, usai absen sehari, Baktiar selalu mengantar air pada hari keduanya. Gara-gara absennya Baktiar, pernah suatu ketika, Rusmanidar berhenti berjualan kopi lantaran tidak ada air bersih untuk bahan baku pembuatannya.”Gara-gara sepeda motor tua itu!” Rusmanidar terkekeh.

Soal becak motor miliknya, Baktiar punya kisah tersendiri. Laki-laki itu mengaku acap kali harus ganti suku cadang sepeda motor lantaran terlalu memaksakan kemampuan motornya. ”Jarak tempuh becak ini hingga puluhan kilometer, dan baru berhenti dipacu mulai pagi sekitar 12.00 Wib, waktu rehat, setelah itu kembali beredak hingga pukul 17.00 Wib,” katanya.

Meski peluh tak pernah berhenti mengalir dalam menjalani profesi ini, hingga sekarang, Baktiar tidak pernah berpikir untuk pindah profesi. Baginya, menjajakan air tidak hanya sekedar mencari nafkah, tapi juga ibadah, menolong warga mensuplai air. Bahkan bila air telah mengalir di Lamreh.”Tolong cari kan saya bantuan sepeda motor!” katanya.

Meski sama-sama berpeluh, namun Ismail sang penjaga air sumber bukit Ladong, memiliki semangat yang berbeda dengan Baktiar. Laki-laki penuh senyum itu sangat ingin air yang mengalir dari Bukit Ladong sampai Desa Lamreh tidak berhenti di manapun. “Kalau air sampai berhenti, saya yang disalahkan,” kata Ismail.

Meski terkesan “sederhana”, yang membuka dan menutup kran sumber air, namun pekeran Ismail memiliki tantangan tersendiri. Untuk pergi ke sumber air Bukit Ladong, misalnya, tangan kiri Ismail harus menjinjing kawat berduri melintang yang memisahkan areal tempat tinggalnya dengan kebun kepala di bukit Ladong Aceh Besar. Pelan-pelan, kepalanya menunduk, dan menyorongkan seluruh tubuhnya hingga melewati kawat tajam berwarna coklat tua penuh karat itu. “Beginilah kalau ingin ke sumber mata air bukit Ladong atau sumber air Alue Pochik, harus berpayah-payah,” kata Ismail sambil terkekeh.

Usai “terbebas” dari kawat berduri, laki-laki berusia 40 tahun itu melanjutkan perjalanannya melewati kebun kelapa di lereng bukit itu. Goyangan daun kelapa yang tertiup angin Jumat pagi itu seakan mengiringi kaki Ismail yang bergantian menapaki tanah yang basah tersiram hujan malam tadi. Sesekali, bapak dua anak ini melompat kecil. Menghindari batang kelapa yang terlentang. “Sebagian pohon ini harus dipotong, disini akan dibangun perubahan baru untuk korban tsunami oleh NGO Saleum Aceh,” katanya sambil menunjuk dua kendaraan bego yang terparkir di salah satu bagian bukit itu.

Usai sudah pekebunan kelapa, kali ini dataran rumput menjelang. Seberapa tanaman perdu tumbuh di atas hijaunya rerumputan. Di lokasi ini, birunya langit yang berbatasan dengan pantai jelas terlihat di sela-sela ujung pohon kelapa. “Sumber air Ladong atau sumber air Alupoci terletak di sana,” kata Ismail sambil menunjuk ke sebuah bangunan biru yang hampir tertutupi rerimbunan pepohonan. Bagai mendapatkan energi baru, Ismail sedikit mempercepat langkahnya.

Kedatangan laki-laki bertubuh gempal itu mengusik ratusan nyamuk dan membuat binatang penghisap darah itu berterbangan memenuhi udara. Ismail mengibas-ibaskan tangan mengusir nyamuk di depan mukanya. "Sepertinya, karat telah merusak gembok berwarna kuning itu. Saya harus meloncat pagar,” katanya sembari memanjat pagar setinggi 1 meter itu. Dalam sekali dorong, tubuh Ismail pun sudah berada di balik pagar..

Pintu menuju ke sumber air terletak di bagian barat bangunan beton setinggi dua meter dan berwarna biru itu. Begitu pintu besi itu dibuka, terlihat sebuah bak besar berukuran 11 meter yang dibagi dalam dua ruang besar. Tepat dibawah pintu besi, terdapat sua pipa yang mengalirkan air sumber menuju ke reservoir (menampungan sementara). Dari tempat itulah, air akan diteruskan ke Desa Ladong dan Desa Lamreh. “Sudah tiga kali bangunan ini direhabilitasi, pertama oleh rakyat, kedua oleh PDAM dan ketiga oleh Plan Aceh,” kenangnya.

Bagi Ismail, lokasi sumber air dan intake (rumah air) seluas sekitar 24 meter peregi itu adalah wilayah kerjanya. Bangunan berwarna biru yang memiliki pintu besi di bagian baratnya itu adalah ruang kerjanya. Di bangunan inilah, air jernih berdebit 800 liter/menitnya tertampung, untuk kemudian disalurkan di pipa sepanjang 8 Km, dari Desa Ladong ke Desa Lamreh. Sudah menjadi kewajiban laki-laki itu untuk pergi ke lokasi itu untuk membuka kran yang membuat air mengaliri pipa.

Tahun ini adalah tahun kedua bagi Ismail bekerja sebagai penjaga air sumber bukit Ladong. Dirinya dilibatkan pertama kali oleh Plan Aceh dalam program pipanisasi air dari Ladong sampai Lamreh. Saat program itu berjalan tidak banyak penduduk setempat yang terlibat. Ismail adalah salah satu yang terlibat dalam proyek itu. Karena dianggap mampu, laki-laki kelahiran Tapak Tuan Aceh Selatan itu “diangkat” menjadi penjaga air. “Ketika itu, gaji saya Rp.900 ribu,” kenang Ismail.

Ketika Plan Aceh selesai dengan program itu dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui organisasi masyarakat Alue Pochik, posisi Ismail penjaga air tetap dijabat oleh Ismail. Bedanya, kali ini Ismail tidak lagi digaji oleh Plan Aceh, melainkan oleh masyarakat yang menyisihkan Rp.3000,-/keluarga/bulan untuk biaya air bersih. “Saat ini tanggungjawab saya lebih besar, karena dulu bila air tidak lancar, maka masyarakat akan telp Plan Aceh, kini kalau air tidak lancar, masyarakat langsung protes ke saya, mungkin kalau tidak lancar terus, saya tidak akan digaji,” katanya sambil tersenyum.

Ismail menyadari, kondisi saluran air Ladong-Lamreh belakangan ini tidak terlalu lancar. Air hanya mengalir sampai ke hidran umum (HU) di Krueng Raya. Tepatnya hidran umum kawasan Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Meunasah Kulam. Sementara HU di Desa Lamreh sama-sekali tidak kebagian air. Semua itu, kata Ismail, karena banyaknya pelobangan pipa ilegal. Meski Ismail tidak tahu pasti lokasi tepat kebocoran itu.

Meski begitu, Ismail sadar, banyak orang yang menyalahkan dirinya bila air tidak mengalir. Padahal, dirinya sama sekali tidak tahu menahu akan hal itu. Yang dia tahu hanya menjaga agar air di sumber tetap mengalir, dan kran besar dari reservoir menuju ke pipa Ladong-Lamreh tetap terbuka. “Orang sering menyalahkan saya kalau air tidak mengalir, padahal saya tidak pernah mengutak-atik sumber air ini, mungkin karena mereka tidak tahu,” katanya sembari mengunci gembok pintu besi “ruang kerjanya.” Klik!*

Tidak ada komentar: