WC biru, jarang digunakan, dibuang sayang

oleh: Maimun Saleh

Walau usianya sudah dua tahun lebih, sebatas penglihatan, kamar mandi yang ditutup seng dan bercat biru di Lambaro Neujid, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar itu sangat nyaman untuk digunakan. Sengnya terpasang rapi. Tanpa lubang, tanpa karat. Masih ada tempat shampo kosong, sisa sabun dan botol scrup pembersih wajah dalam kamar mandi menjadi bukti, warga sekitar kamar mandi umum itu masih menggunakannya.


Lantai kamar mandi juga terawat baik. Lumut hanya nampak di pojokan lantai. Bercampur dengan serpihan pasir yang tertinggal ketika alas kaki pengguna ikut masuk ke kamar mandi itu. Meski sedikit kusam, namun masih dalam tingkat kewajaran layaknya kamar mandi umum di mana pun. WC biru-biru. Begitu warga sekitar menyebut kamar mandi umum yang dibangun oleh Plan Aceh.

Sekitar 100 M dari kamar mandi itu, deretan kamar mandi lain juga ada. Letaknya di dekat meunasah (mushola) Lambaro Neujid. Kondisi sungguh berbeda. Toilet semi permanen yang berjajar hingga tiga buah itu laksana bangunan usang yang tak pernah lagi dijamah manusia. Selain tidak ada air, atap seng-nya sudah tangal sebelah diayun angin. “Tidak ada lagi yang ke WC sana, jorok sekali kondisinya, kami lebih suka di WC biru-biru itu,” kata Dahlia, seorang ibu muda di Lambaro Neujid.

Meski pun secara fisik terlihat “layak digunakan”, namun persoalan besar menyelimuti bangunan ini. Terutama tidak adanya air bersih yang siap digunakan. Sumur gali yang dibangun Plan Aceh “satu paket” dengan kamar mandi umum itu kini tidak bisa digunakan.

Pasalnya, sumur sedalam delapan meter itu hanya berisi air hitam legam dan berbau tak sedap. Mirip kondisi air comberan di kota-kota besar. Warga setempat mensinyalir, air septic tank yang terletak sejauh 3 meter dari sumur telah merembes ke dalam sumber air. Pada ujungnya, air sumur itu pun ikut terpengaruh. Warga baru menyadari hal itu ketika air sumur itu berubah warna.

Secara geografis, posisi bak penampung tinja lebih tinggi dari sumur. Akibatnya, air serapan septic tank yang seharusnya tersaring oleh tanah, justru tumpah ruah ke dalam sumur. Perlahan-lahan air sumur pun berbau busuk dengan warna menghitam. Bila musim penghujan tiba, sumur menjadi momok pengirim bau tak sedap. Akhirnya warga memutuskan untuk menutup sumur.

“Sebenarnya kita bisa sedot tinja, ongkosnya Rp 100.000, mana sangup kami bayar. Lagi pula itu pasti tidak cukup sekali sedot. Kan yang buang air besar ramai,” jelas Adian, 55 tahun, salah seorang warga Lambaro Neujid, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Akhirnya, warga memilih untuk membiarkan proses penyerapan alami itu terjadi.

Menurut Adian, ada ketidaklaziman dalam pembuatan sumur itu. Terutama menyangkut kedalaman sumur. Biasanya, sumur warga digali sekitar sepuluh meter dalamnya, sebanding dengan ukuran meunjeng (cincin sumur). Maklum, Lambaro Neujid, berada di bawah kaki bukit. Sementara Plan Aceh hanya menggali sekitar delapan meunjeng. Belum lagi soal jarak antara septic tank dengan sumur yang terlalu dekat. “Kita ini kan di kaki bukit, jadi air dalam tanah lebih cepat turun ke bawah,” jelas Adian mencoba merasionalkan.

Adian menambahkan, kondisi pembangnan awal yang tidak pas itu semakin diperburuk dengan perhatian pengurus desa tehadap toilet dan kamar mandi minim. Menurutnya, ketika Plan Aceh datang, dan langsung membangun tanpa bertanya ke masyarakat apa saja yang dibutuhkan. Orang yang diajak bicara oleh Plan Aceh adalah koordinator pengungsian yang merupakan mantan geuchik tanpa melibatkan pengurus desa yang lain.

Akibatnya, ketika mantan geuchik pindah rumah dan diganti dengan geuchik yang baru, tidak ada koordinasi berlanjut. “Geuchik sekarang terpilih dua atau tiga hari sebelum tsunami, terus lama balik ke kampung asalnya, orang itulah yang diajak bicara oleh Plan Aceh,” kenang Adian. Jadilah kondisi seperti yang sekarang terlihat.

Sumur yang sudah ditutup kayu itu pun digunakan sebagai alas tanki air bantuan salah satu NGO. Melalui tanki itu, sebuah NGO secara berkala mengisinya dengan air bersih. Selesai persoalan air? Tidak juga. Tanki berwarna biru yang seharusnya menjadi “sumber air bersih”pun tidak berfungsi. NGO yang seharusnya mengisi air berhenti melakukan itu. Alasannya, saat ini setiap rumah di Lambaro Neujid sudah dilengkapi dengan kamar mandi plus WC pribadi.

Namun, persoalan tidak sesederhana itu. Warga agaknya warga sekitar masih kerap menggunakan WC itu. Terutama keluarga yang rumahnya dekat dengan WC umum itu. Seperti keluarga Dahlia dan keluarga Aisyah. Dahlia mengaku, sesekali dirinya masih sering menggunakan WC yang berjarak beberapa meter dari rumahnya. “Kalau saya mau menggunakan air, saya tinggal membawa air dan peralatan mandi dari rumah, lalu berjalan ke WC biru-biru itu,” kata Dahlia.

Hal senada dikatakan Aisyah. Menurut perempuan berusia 50 tahun itu, dirinya masih sering menggunakan WC biru itu. “Seperti waktu masih mengungsi di barak-barak, sampai kini pun saya tetap menggunakan WC biru ini,” katanya.

Muhammad, Keuchik Lambaro Neujid, mengaku tidak tahu menahu perihal WC biru Plan Aceh. Menurutnya, Plan Aceh hanya membangun sekolah dan rumah sejumlah tiga buah. “Kalau rumah mereka (Plan Aceh) tidak bangun banyak, kalau tidak salah cuma tiga saja,” kata Muhammad. Senada, Rusli, Sekretaris Desa (Sekdes) pun mengaku tidak tahu soal keberadaan kamar mandi dan toilet umum yang dibangun Plan. “Tidak ada itu, yang ada dibangun Plan ya sekolah SD dan rumah warga.”

Bertolak belakang dengan keinginan warga, Muhammad dan Rusli menyatakan kamar mandi dan toilet umum sudah tidak dibutuhkan warga. Pasalnya, warga saat ini sudah memiliki kamar mandi dan toilet di rumah masing-masing. Hanya saja menurutnya, warga kesulitan air bersih. “Air yang ditarik dari kaki gunung, sudah tidak sampai lagi ke rumah-rumah warga, tidak tahu kenapa,” kata Muhammad.

Namun Muhammad tidak menampik bahwa pihaknya tidak berkoordinasi dengan koordinator pengungsian saat masa tanggap darurat. Lagi pula baginya, dengan berakhirnya masa tanggap darurat maka selesai pula masa pakai aset-aset darurat. Ia sama sekali tidak terfikir untuk membuat mekanisme desa merawat asset-aset tanggap darurat.

Sebelum tsunami menghancurkan desa yang kini berpenduduk sekitar 700 jiwa atau sekitar 178 keluarga itu, warga mengunakan air sumur lama untuk konsumsi dan mandi. Sementara, toilet tidak semua rumah memilikinya. “kami kadang buang hajat di bukit, kadang WC terbang (buang hajat dalam plastik lalu dibuang sembarang tempat),” jelas Dahlia sambil tersenyum.*

Tidak ada komentar: