Tidak semua hidran “berbuah” senyum

Oleh: Iman D. Nugroho dan Maimun Saleh

Adzan Sholat Ashar telah usai beberapa saat lalu. Inilah waktu bagi Sri Wahyuna dan kawan-kawannya untuk mengaji di meunasah yang terletak di samping HU 2 di Desa Ladong, Masjid Raya, Aceh Besar. “Sebelum mengaji kita selalu wudhu dulu di HU itu,” kata muris SDN Ruyung itu.


Selain sumber mata air Bukit Ladong atau Mata Ie Alue Pochik, Hidran Umum (HU) adalah salah satu “prasasti” yang terlihat dari proyek pipanisasi Ladong-Lamreh, dari Desa Ladong hingga Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dari jalan raya dua desa di pesisir pantai barat itu, penampungan air berwarna biru setinggi 1,5 M dengan diameter 3 M tampak mencocok.

Ada sejumlah 12 HU yang tersebar dari desa berjarak 8 Km itu. Masing-masing HU terbuat dari plat fiber glass setebal 5 Cm dan dilengkapi dengan sebuah kran yang terhubung dengan pipa Ladong-Lamreh. Melalui kran inilah, air dari pipa utama masuk ke dalam HU. Di empat sisi hidran, terpasang empat kran air berdiameter ¾ inci. Dari kran yang terbuat dari besi ini, air dari dalam hidran mengucur keluar. Digunakan untuk kebutuhan masyarakat.

HU berdiri di atas lantai beton cor seringgi 30 Cm. Di pinggiran lantai cor itu terletak saluran air kotor yang melingkar mengelilingi HU. Air HU yang usai digunakan akan meluncur melalui lantai berkemiringan 20 derajat menuju saluran air kotor. Selanjutnya mengikuti selokan yang ada di samping HU. Berakhir di laut atau penampungan air kotor yang sudah ada sebelum HU dibangun.

Field Officer Water and Sanitation Plan Aceh, Elly Malayanti mengatakan, seluruh HU di bangun berdasarkan masukan dan pertimbangan dari masyarakat. Pertimbangan yang paling utama adalah apakah HU yang dibangun itu mudah diakses oleh seluruh masyarakat yang ada di lokasi itu. “Pada awalnya, yang kita perhatikan adalah pengungsi, karena mereka paling membutuhkan. Setelah persoalan pengungsi teratasi, baru masyarakat sekitar,” kata Elly.

Dari pipa reservoir distribusi yang ada di bawah sumber air in take, air dari sumber air bukit Ladong pertama kali akan tertampung di HU 1 yang terletak di depan Masjid Desa Ladong. Hingga November ini, HU di samping jalan raya Ladong itu dalam kondisi baik. Meski ada retak-retak di lantai beton cor, khususnya di sambungan pipa di bawah tangga depan, tapi kondisi plat fiber glass tandon air tampak terawat. Empat kran air yang menempel di pipa keluaran air pun masih utuh. Hanya da karet ban yang terlilit di kran “in” untuk mencegah kebocoran. Bersanding dengan kotak amal masjid di samping kiri HU.

Masih di Desa Ladong, sekitar 2 Km dari HU 1, terletak HU 2. Lokasi itu terletak di halaman meunasah (mushola/masjid kecil) di samping perkebunan kelapa liar. Sebuah larangan untuk mencuci kereta (sepeda motor) dan mobil tertulis menggunakan cat semprot di bagian depan HU 2 itu. Berbeda dengan HU 1, kondisi di HU2 lebih terawat. Tidak banyak beton pecah atau terkelupas. Karena posisinya yang terbuka, di HU inilah biasanya truk tanki ait mengambili air untuk disebarkan, atau bahkan di jual (lihat foto-red).

Jarak dari HU 2 ke HU 3 tergolong jauh, hinga mencapai 3 Km. Tepatnya di Desa Ruyung. Tepatnya tidak jauh dari barak pengungsi korban tsunami yang ada beberapa meter dari lokasi HU 3. Ada sabuah kran yang rusak di HU ini. Sebagai gantinya, penduduk coba menutup saluran pipa itu dengan menggunakan kantong plastik. Meski begitu, air tetap mengucur deras.

Beberapa ratus meter dari HU 3 terletak HU 4. Tepatnya, di samping sungai di depan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Desa Ruyung. Secara geografis, kali selebar 6 meter itu memang lebih tinggi dari posisi HU 4. Tapi hal itu tidak mengganggu proses pembuangan air korot. Sebagian air kotor yang tidak terpakai, secara alami bisa mengarah ke kali, dan berakhir di laut. Di HU inilah, biasanya para becak motor mengambil air. Bila hal itu terjadi, maka dipastikan akan ada antrian panjang deretan jirigen di samping HU.

Di seberang pesantren Desa Raya Kameng-lah, HU 5 berada. Letaknya agak menjorok di dalam perumahan penduduk setempat. Karena berada di perumahan penduduk, HU 5 cenderung berada dalam kondisi baik. Tidak tampak aksi pengambilan air menggunakan becak motor atau mobil tanki di HU 5 ini. Beberapa penduduk mengaku, pernah ada keinginan dari becak motor untuk mengambil air di lokasi ini. Namun karena posisinya menjorok, para penjual air itu enggan untuk mengambil air di lokasi itu.

Beberapa puluh meter kemudian, masih di desa yang sama, tempat HU 6 berada. Konon, keberadaan HU 6 yang berada di tanah Halimah, sedang menuai berperkara. Perempuan berusia 87 tahun ini merasa keberatan untuk terus ditempati. Sikap keras itu bukan tanpa sebab. Janji-janji yang terucap ketika HU 6 akan dibangun, tidak terlaksana.

“Air ini untuk rakyat kampung. Kami janji tidak akan diperjualbelikan!” janji itu melekat dalam ingatan Halimah, 87 tahun, warga Paya Kameng, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Usianya boleh saja senja, tapi tak hanya itu janji yang diingat dari pengurus desa kala itu. Halimah juga mengenang, pengurus desa berjanji akan mengalirkan air ke kamar mandinya. Janji yang yang dianggap berkah luar biasa.

“Saya ini sudah tua, kalau ada air di kamar mandi saya tidak perlu naik turun rumah dan angkat air untuk ambil air sembahyang,” jelasnya. Terakhir, janda tujuh anak itu meminta pada pengurus desa membuat pagar agar kambing dan lembu tak turut menikmati dan merusak sumber air impian warga itu. “Kalau dipagari kambing tidak bisa datang ke situ (hidran),” kata Halimah.

Usai tiga janji di siang hari itu, ia mengizinkan di atas tanahnya dibangun HU yang berdiri di atas tanam berdiameter 4,5. Hanya berselang sepekan, masyarakat sudah dapat menikmati air bersih yang dialiri dari mata air Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar.

Lamat-lamat, janji tinggal janji. Air tak mengalir ke kamar mandi, Halimah mengaku bisa bersabar. Baginya, yang terpenting air sudah diperkarangan rumah dan lagi pula para pengungsi yang tinggal di barak bisa menikmati . “Yang paling penting pengungsi seberang jalan sana ,” kata Halimah sambil menunjuk ke arah barak hanya beberapa meter dari rumahnya itu.

Nasib pengungsi adalah pertimbangan terbesar mengapa Halimah mengizinkan hidran didirikan di tanahnya. Bagi Halimah itu bagian dari baktinya pada korban tsunami. Apalagi ia sendiri sempat digulung gelombang raya tiga tahun lalu. Karena tsunamilah, salah seorang anaknya meninggalkan seluruh keluarga.

Halimah begitu bangga saat orang-orang dari desa-desa tetangga menyambangi HU itu dari pagi sampai pagi lagi. Namun, ”keanehan” terasa ketika becak-becak mesin penuh dengan jirigen turut mampir dan mengambil air. Tak wajar pikirnya, bagaimana bisa becak-becak berulang mengambil air. Sampai akhirnya, tersiar kabar air telah dijual ke desa-desa tetanga.

Halimah dongkol, ketika ia tahu ada kotak ”tabungan” ditaruh dekat HU. Artinya, pengurus desa mengizinkan penjualan air. Penjual air hanya menaruh Rp 500-an dalam tabungan itu. Halimah pun merasa dirinya merasa dibohongi. Tak ayal ketika Halimah menjumpai seorang pengurus kelompok pengelola air, amarahnya meluap.”Saat bilang, Saya marah air dijual-jual. Kalau dijual, lebih baik pindahkan saja drum (HU) itu,” katanya ketika itu.

Ia masih tak puas. Beberapa orang penjual air dimintanya untuk tidak lagi mangambil dan menjual air dari perkarangan rumahnya. Hasilnya, hanya cercaan dari penjual air. Nenek bercucu 38 orang itu dianggap terlalu berkuasa.

Hingga kini, HU itu memang tidak pernah dipindahkan. Hanya ditutup sementara. Ia sendiri tidak tahu siapa yang menutup. Tak jelas yang dimaksud ditutup. Tapi yang jelas hidran tak hanya berisi angin. Lantas pengungsi murka, keran-keran air dihancurkan. Tak ayal, air dari pipa tumpah ruah ke dalam parit. “Itu kejadiannya lama. Tidak ada yang memperbaiki, kasihan airnya,” ujar Halimah.

Namun saat ini hidran telah kembali berkerja. Hanya saja, keran-keran air yang telah rusak belum juga diperbaiki. Hidran diperkarangan rumah Halimah pun tidak lagi didatangi pedagang air asal Krueng Raya.

Setelah HU 6 yang ramai dengan kisah Malimah ada HU 7 yang terpasang di Desa Berandeh. HU ini berada di tengah-tengah perkampungan. Tidak ada cerita “khusus” terjad di HU ini. Setelah HU 7 ada HU 8, yang lokasinya berdekatan dengan HU 9, HU 10 dan HU 11. Menuju ke HU 8, HU 9, HU 10 dan HU 11, perjalanan pipa Ladong-Lamreh menempuh jarak agak panjang dan berliku. Menyebrang sungai Krueng Raya seluas 45 M. Pipa paralon dipasang di sejajar dengan jembatan baja yang melintas di atas sungai. Saluran pipa itu terhubung dengan pipa perempatan yang menghubungkan tiga HU (HU 8, HU 9 dan HU 10) di seberang kiri jalan dan satu HU (HU 11) di bagian kanan jalan.

HU 8 terletak di Desa Meunasah Kulam. Terhimpit perumahan penduduk, di sebelah utara Masjid Pakistan. Sementara HU 9 ada di Munasah Keude. Dan HU 10 serta HU 11 (yang ada di sisi kanan jalan) masuk wilayah Meunasah Mon. Empat HU itu saat ini berada di tengah-tengah pembangunan perumahan penduduk yang dibangun American dan Canadian Red Cross. Plan Aceh menerima laporan, pembangunan perumahan itu menghimpit pipa yang mengubungkan pipa Ladong-Lamreh dengan pipa hidran. Hasilnya, air tidak mengaliri tiga HU di sisi kiri jalan.

Karena itulah, di dinding barat HU 8 tertulis tulisan seadanya berbunyi,”Hana ie,” atau dalam bahasa Indonesia berarti tidak ada air. Sementara di HU 10, yang terletak di seberang jalan Keluarga Samsuar, pun hanya baru-baru ini mengucurkan air. “Setelah berbulan-bulan mati, baru seminggu lalu ada airnya lagi,” kata Samsuar. Kalau toh ada airnya, hanya cukup untuk satu jirigen saja. Karena itu Samsuar memilih untuk membawa keluarganya ke kali bila akan mandi.

Kondisi paling parah agakya dialami oleh HU 12. Hidran yang terletak di ujung saluran pipa Ladong-Lamreh itu mirip bangunan yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Dinding HU-nya memang masih kokoh, warnanya birunya pun terlihat kuat, hanya saja, HU di piggir perkarangan dan kebun kelapa itu kering, tidak pernah tersentuh air. Di alas betonnya terserakan kotoran kambing.

Agaknya, HU itu memang lebih sering dikunjungi oleh kambing untuk berteduh dari terik matahari, ketimbang ibu-ibu atau anak-anak yang memanfaatkan segarnya air sumber Ladong yang (secara teori) ada di dalamnya. “Sudah, tidak usah bicara soal air HU di sini, karena sejauh yang sama ingat, HU itu hanya ada airnya selama beberapa bulan awal, setelah itu mati,” kata Nurwani, penjual gorengan yang ada di samping HU.

Perempuan tujuh anak ini mengaku, saat pertama HU 12 itu dibangun, pekerjanya mengatakan bahwa HU ini akan mengeluarkan air yang dialirkan dari Desa Ladong. Tapi, itu hanya berjalan beberapa bulan saja. “Saya tidak ingat persisnya, yang pasti pernah mengalir airnya, Cuma setelah itu mati, hidup dan mati lagi, saya dengar- tidak cuma di sini yang nggak ada airnya, HU di seluruh Krueng Raya pun sama,” katanya.

Penduduk setempat, kata Nurwani, yang sempat menunggu-nunggu air di HU ada kembali pun akhirnya malas menunggu. Mereka lebih memilih membeli air dari pedagang air yang memakai becak motor. “Kebutuhan keluarga saya, anak dan cucu tidak bisa menunggu HU berair kembalikan,” katanya. Meski tidak menunggu HU kembali ada airnya, Nurwani mengatakan, bantuan sumur bor sepertinya bisa mengobati kekecewaan. “Di Bukit Soeharto (5 Km dari tempat Nurwani) itu ada bantuan sumur bor, dan airnya pun bersih,” katanya.*

Tidak ada komentar: