Air bercerita, anak-anak yang terluka

oleh: Iman D. Nugroho dan Maimun Saleh
 

Air dari sumber air Bukit Ladong menjadi sandaran hidup ribuan orang di delapan desa Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Sayang, berbagai persoalan membuat air jernih itu menjadi “keruh”. Di akhir cerita, anak-anak juga yang “terluka”.


Sekilas, tidak ada yang istimewa di perbukitan Ladong. Dataran tanah tinggi yang terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam itu pun mungkin tidak lebih menarik dari pantai yang berjajar, mulai Ujung Batee hingga Ujung Kerueng. Namun, di salah satu bukit itulah terdapat sumber air yang selama ini digunakan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Tidak sulit menemukan sumber air Bukit Ladong. Dari kota Banda Aceh, perjalanan ke bukit Ladong yang terletak di samping jalan raya itu bisa ditempuh melalui jalan darat sejauh 20-an KM. Sesampainya di Kantor Balai Desa Ladong, perjalanan dilanjutkan dengan bejalan kaki ke arah selatan. Menyusuri jalan setapak, menembus perkebunan kelapa dan semak belukar tempat nyamuk bersarang.

Bangunan persegi berwarna biru itu begitu kentara di sela-sela pepohonan yang tumbuh liar di wilayah itu. Di sekelilingnya dibatasi oleh pagar kawat berukuran 1 meter. “Inilah sumber air bukit Ladong yang selama ini menjadi sumber air warga Desa Ladong dan sekitarnya,” kata Ismail, warga Ladong yang dipercaya sebagai penjaga sumber air itu.

Suara gemuruh air menyambut kedatangan siapa saja yang mendekati sumber air bukit Ladong. Melalui pipa berdiameter 15 cm, air berdebit 800 liter/menit itu mengalir deras tiada henti ke tempat penampungan sementara atau intake. Ketika sudah penuh, air mengalir ke “rumah air” yang disebut reservoir, melalui pipa berdiameter 20 cm. Reservoir yang terletak sejauh 10 meter di bagian bawah sumber air. Di ruangan ini air ditahan sementara untuk menaikkan tekanan air agar bisa mengalir mengikuti gara grafitasi.

Setelah air berhenti beberapa saat di reservoir, air mengalir menuju beberapa tempat yang terhubung dengan saluran pipa lain yang lebih kecil. Sebagian mengalir melalui pipa hingga ke Desa Lamreh yang berjarak hingga 8 KM, melalui 12 hidran umum (HU) yang tersebar di delapan desa sepanjang Ladong-Lamreh. Sebagian lain dimanfaatkan untuk irigasi pertanian warga sekitar. “Air yang keluar dari sumber ini begitu banyak, sampai ada yang meluber dan digunakan untuk pertanian atau mandi kerbau,” kata Ismail.

Tidak jelas benar, kapan sumber air ini pertama kali ditemukan. Sebagian besar warga mengetahui, sumber air bukit Ladong sudah ada ketika mereka mendiami kawasan ini. Sudah menjadi kebiasaan, warga Desa Ladong mengambil air di kaki bukit Ladong, dan membawanya ke rumah. Ironisnya, meski memiliki sumber air yang berlimpah, penyebaran air di Desa Ladong tidak merata. Dari empat dusun yang ada di Desa Ladong, air hanya bisa dinikmati oleh 1,5 dusun saja. Sementara 2,5 dusun lainnya harus berusaha keras dengan cara mengangsu atau membeli air. Dua dusun yang tidak beruntung itu, Dusun Indra Patra sampai Ujung Keureng. Di dua dusun itu, sumber ada yang ditemukan berair payau.

Ketika sumber air bukit Ladong itu dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Aceh Besar pada tahun 1980-an, keadaan menjadi sedikit berbeda. Geucik Desa Ladong Hasyim Ismail menceritakan, saat itu sebagian warga Ladong bisa menikmati air langsung dari rumah-rumah. Dengan adanya meteran, sistem pembayaran pun normal. Ketika itu, dibangun dua saluran pipa besi dari Bukit Ladong ke Lamreh, dan Bukit Ladong ke Desa Ruyung. Dua tempat di tepi pantai yang membutuhkan air.

Bahkan, ketika itu diatur pula sistem pembagian waktu pengaliran air. Pukul 07.00-12.00 WIB, air di desa Ladong mengalir ke Ruyung. Setelah itu, pada pukul 12.00-19.00WIB, air mengalir ke kawasan Desa Lamreh Krueng Raya. Ada petugas khusus yang menangani hal itu. “Air yang dikelola PDAM memakai meteran, saat itu tidak ada air yang dibuang dengan sembarangan,” kata Geucik Hasyim Ismail.

Namun, semua berubah ketika konflik GAM dan TNI pecah di Tanah Rencong. Masyarakat mulai terpengaruh. Perlahan-lahan terjadi pembangkangan mulai ada yang enggan membayar biaya PDAM. Bahkan ketika itu, terjadi banyak kebocoran pipa. Entah itu disengaja atau tidak. “Karena konflik meletus itulah, orang PDAM tidak sempat lagi kemari, dan warga pun enggan membayar, air semakin sulit didapat,” kata Geucik Hasyim Ismail.

Karena itulah, sepanjang konflik berjalan, sumber air di Bukit Ladong menjadi tidak terurus. Tidak ada perawatan dan banyak sudetan ilegal di sepanjang pipa. Meski begitu, sumber air bukit Ladong tetap menjadi sandaran warga setempat untuk kebutuhan air bersih. Dengan menggunakan jirigen, warga mendatangi beberapa sudetan pipa untuk mengambil air dan membawanya pulang. Sementara warga yang lain, memilih untuk membeli air seharga Rp.1000/jirigen.

Kondisi makin parah saat tsunami menghempas 26 Desember 2004 lalu. Desa Ladong, Desa Ruyung, Desa Paya Kameng, Desa Beurandeh, Desa Meunasah Kulam, Desa Meunasah Gede, Desa Meunasah Mon, Desa Ie Seu Um dan Desa Lamreh didera persoalan air. Ribuan sumur di Kecamatan Masjid Raya pun rusak. Ada yang tertutup tanah yang ambrol karena gempa bumi yang mengiringi datangnya air, ada juga yang kotor karena bercampur dengan air laut yang masuk ke daratan.

Kawasan Krueng Raya atau sekitar Desa Meunasah Kulam, Desa Meunasah Gede, Desa Meunasah Mon, Desa Ie Seu Um, dan tentu saja Desa Lamreh menjadi kawasan yang paling parah. Ketika tsunami memporak-porandakan kawasan itu, sekitar 6808 jiwa terancam kekurangan sir bersih. Kenangan itu yang tertanam di benak Rusmainar.

Rusmainar menceritakan, sebelum tsunami menerjang, hampir setiap pagi perempuan yang kini berusia 60 tahun ini selalu tertatih turun naik bukit menuju desa Ie Seu Um. Hal itu dilakukan hanya untuk mencuci baju dan mengambil air bersih. Ia tidak sendirian. Hampir semua perempuan sekampung dengan Rusmainar melakukan hal yang sama. Bila kecapekan hingga tidak kuasa menyelesaikan tanjakan menuju rumahnya, perempuan yang penuh dengan guratan umur di wajahnya ini memilih menumpang truk pengangkut kayu yang lewat.

“Saya sudah tua, usia saya sudah 60 tahun, mana kuat lagi saya jalan jauh,” kenang Rusmainar, warga dusun Malahayati, Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Melihat perjuangan sang ibu, anak perempuan Rusmanidar sempat memutuskan untuk membawa pakaian kotor milik keluarganya ke sebuah binatu di Lambaro Skep, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Tarifnya pun lumayan mahal, Rp 300.000/bulan.

Tentu saja, banyak penolakan menyangkut ide itu. Terutama sial besarnya biaya. Justru penolakan datang dari cucu-cucu Rusmanidar yang sudah mulai beranjak remaja “Hal itu dinilai menghamburkan uang, tapi saya sungguh ingin berhenti naik turun bukit untuk mencuci,” kata perempuan itu sambil tersenyum.

Ironisnya, petaka naik turun bukit menghilang bersamaan dengan rusaknya sumber air tawar. Tiada yang menyangka, gelombang tsunami yang menyapu besih pesisir Nanggroe Aceh Darussalam itu, meninggalkan asin di sumber air kawasan sekitar rumah Rusmainar hingga tiga tahun tak sirna. Beberapa sumber air di bukit-bukit pun merasakan hal yang sama.

Selain Malahayati, ke empat dusun lainnya, Dusun Lancang, Dusun Ujung Padang, Dusun Inong Balee dan Dusun Lubok juga berair asin. Hujan yang kerap menguyur Kreung Raya tidak juga membuat kadar garam menyusut. Bahkan di Inong Balee, air yang coba diambil dari sumur warga berbai anyir. Singkat kata, ketika itu Rusmainar dan ratusan penduduk di kawasan itu pun kesulitan mendapatkan air bersih. Setiap keluarga, seperti halnya keluarga Rusminar, setidaknya membutuhkan rata-rata 30 liter setiap hari.

Sejenak, harapan sempat terbersit. Usai tsunami, penduduk yang memutuskan tinggal sementara di barak, terbantu dengan kedatangan mobil tanki air bersih yang didatangkan beberapa NGO, termasuk Plan Aceh. Emergency respons diterjemahkan Plan Aceh dengan pemenuhan kebutuhan dasar atau basic needs masyarakat yang tiba-tiba hilang terimbas gelombang besar itu.

“Semua karena respons emergency yang terjadi di Aceh karena tsunami, kebutuhan kita penuhi,” kata Djuneidi Saripurnawan Research and Development Coordinator Plan International Aceh.

Tandon besar berkapasitas 8000 liter dan dikenal sebagai hidran umum (HU) pun disebar di sepanjang dusun Desa Ladong hingga lokasi pengungsian korban tsunami di Desa Lamreh. Truk-truk berkapasitas sama pun hilir-mudik ke sana ke mari menyupai air bersih ke barak-barak pengungsi korban Tsunami yang sangat membutuhkannya. “Kalau soal air jauh lebih baik saat dipengungsian. Tinggal ambil dan tidak bayar,” kata Rusmainar. Dalam catatan Plan Aceh, hampir 25 persen wilayah Krueng Raya tenggelam oleh air laut. Dan air bersih adalah hal yang paling dibutuhkan ketika itu.

Waktu berlalu. Nasib warga pun berubah. Warga yang sebelumnya tinggal di barak-barak di kaki bukit Lamreh sebagai pengungsi, kini harus puas tinggal wilayah relokasi di atas bukit. Sumur bor bantuan salah satu organisasi palang merah internasional menjadi sumber air utama. Sumur-sumur warga yang hancur dihantam tsunami pun telah dibangun kembali.

Sayangnya air menyembul dari bukit yang berhadapan dengan Selat Malaka itu, tetap tidak bisa dikonsumsi untuk air minum atau air memasak. Para ibu-ibu, hanya mengunakannya untuk mencuci pakaian dan mandi. ”Tidak bisa diminum. Airnya bau anyir, berwarna dan berat kali kapurnya,” kata Nazir, pengurus Dusun Inong Balee.

Saat kondisi sulit itulah, sumber air bukit Ladong kembali menjadi harapan. Efek tsunami tidak sampai merusak kualitas air Bukit Ladong. Kondisi air tetap jernih, meskipun beberapa batu sempat menutupi mata air. “Meski sempat rusak, namun air masih mengalir dari sumber air itu,” Geucik Desa Ladong, Hasyim Ismail.

Bantuan pun mulai masuk ke Kecamatan Masjid Raya. Berbagai International dan Non-Governmental Organization (INGO/NGO) merealisasikan program bantuannya di daerah pantai utara Nanggroe Aceh Darussalam itu. Plan International Aceh atau Plan Aceh fokus pada pembangunan sistem instalasi air bersih yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber mata air di bukit di Desa Ladong.

Organisasi yang dirikan pada 1937 oleh wartawan Inggris John Langdon-Davies dan pekerja sosial Eric Muggeridge ini memasukkan program sistem instalasi air bersih Ladong-Lamreh dalam domain program Habitat. Setelah dilakukan survey dan analisis kelayakan, debit dll, diputuskan ini untuk merelalisasikan pipanisasi Ladong-Lamreh.

Program penggalian dan pipanisasi sepanjang 8 Km pun dilakukan. Pada akhir tahun pertama keterlibatan Plan Aceh membantu korban tsunami Aceh, Plan Aceh mengklaim berhasil membangun saluran air bersih di delapan desa dari Desa Ladong sampai Desa Lamreh. Untuk beberapa saat, menurut catatan Plan Aceh, warga korban yang terdampak tsunami di kawasan itu pun tidak khawatir dengan persoalan air bersih.

Desa Kreung Raya sempat riang ketika ada kabar air bersih akan kembali bisa mengalir ke rumah-rumah. Seperti era tahun 1980-an, ketika PDAM Aceh Besar sempat turun tangan menata sistem air bersih di kawasan itu. Keyakinan itu bertambah sejak pipa sebesar 200 Mm dikubur di pinggir jalan, dari Desa Ladong sampai mendekati kaki bukit Inong Balee. Bahkan di Malahayati, beberapa rumah sudah dipasangi meteran dengan box berwarna biru.

Secara jujur, Nazir, warga Inong Balee menilai, adalah kemustahilan untuk ”memaksa” air dari bukit Ladong mendaki kawasan bukit yang kerap disebut bukit Soeharto itu. Kalau toh bisa mengalir hingga kaki bukit saja, warga Inong Balee sudah lega. ”Kami tinggal turun bukit saja untuk mengambilnya,” kata Nazir.

Dugaan itu tidak meleset. Harapan tinggal harapan. Ujungnya hanya kekecewaan. Setahun lebih sudah pipa terpasang, tapi air tak kunjung datang. Mau tidak mau, penduduk Krueng Raya harus membeli air bersih dari pedagang air eceran seharga Rp 2.000/jirigen. ”Air itu diambil pedangan dari masjid Ladong, di sana mereka ambil Rp 3.000/becak, tidak ada air gratis di Krueng Raya,” jelas Rusmanidar.

Persis keluh Rusmanidar, tak ada air gratis di Lamreh. Warga Inong Balee terlebih lagi. Ada dua pilihan air di kawasan itu. Selain membeli dari pedagang air becak, penduduk Inong Balee bisa menikmati air sumur bor yang dibangun sebuah organisasi palang merah internasional. Namun, hal itu not for free. Setiap bulan setiap keluarga harus membayar Rp. 40.000,-.

Tidak untuk palang merah internasional yang mengali bukit, melainkan pada pengurus dusun setempat. Menurut Nazir, uang kutipan itu digunakan untuk membayar listrik. Selain itu, warga juga memperkerjakan dua orang untuk menjaga aktifitas pompa. ”Tugasnya menghidup dan mematikan air,” jelasnya.

“Bulan madu” warga di delapan desa dari desa Ladong hingga desa Lamreh dengan air bersih tidak berjalan lama. Belum setahun berlalu, persoalan mulai muncul. Aksi penyodetan (taping) pipa air ilegal mulai kembali terjadi. Air yang seharusnya mengalir sampei Krueng Raya pun mancet entah di mana. Beberapa orang mengambil air dari beberapa HU dan menjualnya untuk kepentingan pribadi. Hal ini menimbulkan sedikit persoalan karena ada sekelompok warga yang tidak setuju terhadap komersialisasi air untuk kepentingan pribadi.

Ujung dari persoalan itu bermuara pada anak-anak. Anak-anak di Krueng Raya, bernasib 180 derajat dari anak-anak Desa Ladong. Anak-anak Desa Ladong masih bisa menikmati nikmatnya hidup di kawasan yang memiliki sumber air berlimpah. Tidak ada kata kurang air di desa ini. Kran air pun, dibiarkan mengucur, meski tidak ada yang menggunakan. Ketika haus menyerang, tinggal membuka mulut. “Air yang keluar dari sumber ini pernah teliti di Malaysia, hasilnya, layak minum langsung, untuk yang sudah terbiasa,” kata sekretaris Alue Pochik, kelompok pengurus air Kecamatan Masjid Raya.

Sementara anak-anak di Anak-anak di Krueng Raya, bernasib 180 derajat dari anak-anak Desa Ladong. Meski tetap ada senyum, namun tidak ada cerita gembira soal air. Abdullah misalnya. Anak Krueng Raya, tepatnya di Desa Maunasah Mon, merasakan betapa sulitnya tidak punya air. Remaja yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Krueng Raya ini mengatakan, HU di desanya baru terisi air pada tiga hari terakhir.

Selama berbulan-bulan, sama sekali tidak ada air yang bisa dinikmati dari tandon HU itu. “Berbulan-bulan mati, baru tiga hari lalu ada airnya, itupun tak banyak,” kata Abdullah dalam bahasa daerah Aceh. Sebagai solusi atas hal itu, Abdullah dan keluarganya, termasuk dua adiknya yang masih berusia balita selalu memisahkan kebutuhan air minum dan kebutuhan air untuk mandi dan mencuci peralatan rumah tangga. Sepertinya, tak usah dulu bicara Hak Anak, bila persoalan air belum selesai! Air di bukit Ladong terus akan bercerita. Semoga bukan terus tentang kesedihan,...*

Tidak ada komentar: